Asvi Warman: Soeharto Bukan Pahlawan

Asvi Warman: Soeharto Bukan Pahlawan

June 18, 2014 Add Comment

Asvi Warman: Soeharto Bukan Pahlawan

Senin, 10 November 2008 16:52
Jakarta, NU ONline

Sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, menyatakan, Soeharto bukan seorang pahlawan karena pemerintah belum mengangkatnya sebagai seorang yang berjasa untuk Indonesia.

Demikian dinyatakan oleh Asvi ketika menanggapi iklan partai Keadilan Sejahtera (PKS) di televisi yang ditayangkan sejak kemarin (9/11). Iklan PKS kali ini menayangkan gambar Soeharto dengan tema yg cukup menggelitik, yakni pahlawan bangsa.

Menurut Asvi, untuk mendapat gelar pahlawan, seseorang harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. "Pahlawan mestinya memiliki dua kriteria, yaitu seseorang harus memiliki jasa-jasa yang besar dan dia tidak memiliki cacat bagi bangsanya," kata Asvi.

Lebih lanjut Asvi menyatakan keberatan jika Soeharto diangkat sebagai pahlawan Nasional. "Soeharto memang pembangun paling besar di Indonesia, tapi dia juga perusak terbesar seperti meninggalkan utang US$ 150. Itu kan membebani kita dan tidak akan lunas selama 7 turunan," paparnya.

Memang pada iklan PKS tersebut tidak hanya mencantumkan Soeharto saja, maleinkan muncul pula foto Soekarno, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, M Natsir, M Hatta, Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Namun kini giliran pemuatan foto Soeharto itulah yang dipermasalahkan berbagai pihak.

Sebelumnya, kemunculan Hasyim Asy'ari juga sempat membuat PKS menerima protes-protes dari kalangan warga Nahdliyyin yang merasa dirugikan oleh ulah PKS tersebut. Dalam hal ini PKS dinilai justru mengkerdilkan jasa para pahlawan tersebut kepada bangsanya. (min)


Sumber:
http://portofgresik.blogspot.com/2009/02/asvi-warman-soeharto-bukan-pahlawan.html
Korban Talangsari: Soeharto Bukan Pahlawan

Korban Talangsari: Soeharto Bukan Pahlawan

June 18, 2014 Add Comment

Korban Talangsari: Soeharto Bukan Pahlawan

Selasa, 05 Februari 2008 14:40 wib | Aji Aditya Junior - Trijaya

BANDAR LAMPUNG - Korban kasus Talangsari Lampung 1989 dan Kontras menolak keras pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto.

Penolakan disampaikan dalam konferensi pers peringatan 19 tahun tragedi Talangsari di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen, di Jalan dr Harun, Bandar Lampung, Selasa (5/2/2008).

Krisbiantoro, seorang staf Kontras mengatakan, penolakan didasari belum tuntasnya status hukum Soeharto dalam beberapa kasus, terutama kasus Talangsari 1989.

Selain itu, Kontras menganggap penyelidikan yang sudah dilakukan sejak Juni 2007 masih berkutat pada pemeriksaan saksi, dan belum ada kejelasan untuk memeriksa pelaku, tempat penahanan, penyiksaan, serta dokumen yang relevan.

"Menurut kami, masalah Soeharto bukan masalah maaf memaafkan. Ini masalah hukum. Status Soeharto sangat berkaitan erat dengan penyerangan terhadap santri pengajian pada 7, 8, dan 9 Februari 1989 itu. Penyerbuan ini merupakan implementasi di lapangan atas wacana asas tunggal yang dicetuskan Soeharto," papar dia.

Azwar Khiori (65), salah seorang korban menyatakan hal yang sama. Azwar berkata, masih banyak tokoh di Indonesia yang pantas mendapat gelar itu.

Korban Talangsari lainnya, Rasmin (67) dan Suroso (62) menyatakan, hingga kini korban Talangsari masih terus diintimidasi dan belum dipulihkan nama baiknya di masyarakat.

"Kami masih dianggap aliran sesat. Bahkan untuk pengajian saja kami masih diawasi," ungkap dia.

Suroso menambahkan, untuk memperingati 19 tahun tragedi Talangsari ini, aparat di Desa Labuhan Ratu, Lampung Timur, tempat peringatan dilakukan, belum memberikan izin. Bahkan, kepala desa setempat mengancam akan mengerahkan massa untuk membubarkan peringatan yang akan berlangsung mulai sore ini.

Peringatan 19 tahun peristiwa Talangsari akan diisi dengan tahlilan, malam renungan, pengajian, diskusi korban dengan Komnas HAM, serta pembagian stiker. Turut hadir dalam acara ini Komisioner Komnas HAM Kabul Supriadi, Koordinator Kontras Usman Hamid, dan janda aktivis HAM Munir, Suciwati. Peringatan akan berlangsung 5-8 Februari. (Aji Aditya Junior/Trijaya/jri)


Sumber:
http://news.okezone.com/read/2008/02/05/1/81116/korban-talangsari-soeharto-bukan-pahlawan 
Soeharto bukan Pahlawan

Soeharto bukan Pahlawan

June 18, 2014 Add Comment

Soeharto bukan Pahlawan

| | |
Oleh: M.Fadjroel Rachman

Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]


Karena bila menghapuskan semua perkara pidana dan perdata Soeharto dan rezim totaliter Orde Baru (Orba) berarti Soeharto, keluarga, kroni korupsi, pelanggar HAM berat lainnya bebas tanpa hukuman. Berarti keadilan dan hukum ikut mati bersama Soeharto

Kejahatan HAM Berat
Mengapa Soeharto, keluarga, kroni korupsi, dan pelanggar HAM, para loyalis Orba, tidak dapat dibebaskan dari hukuman? Karena rezim totaliter Orba dibangun diatas dua fondasi musuh utama demokrasi. Pertama, kejahatan HAM Berat atau kejahatan terhadap kemanusiaan; Kedua, kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kejahatan HAM Berat atau kejahatan terhadap kemanusiaan tak dapat dihapuskan di luar pengadilan, kedaluwarsa ataupun pelakunya bebas tanpa hukuman. Semua kasus sepanjang 32 tahun Orba seperti Pembunuhan Masal 1965, Penembakan Misterius, Kerusuhan 13-14 Mei, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Talang Sari, Tanjung Priok, Kasus 27 Juli, Penjajahan dan Gemosida Timor Timur, Trisakti 12 Mei 1998, Papua, dan lainnya harus berlanjut, walaupun Soeharto meninggal dunia. Mengapa?

Beragam contoh sejarah mendukung pendapat ini, lihat saja misalnya ketika The Big Brothers Pol Pot mati, Kamboja sejak 13 November 2007 melaksanakan Polpot’s Trial dengan menangkap pemimpin Khmer Merah, Khieu Samphan (Presiden Khmer Merah), Kaing Guek Eav alias Duch (komandan penjara penyiksaan Tuol Sleng), Nuon Chea, Ieng Sary (menteri luarnegeri), Ieng Thirith. Kelimanya dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan yang membunuh 1,7 juta rakyat Kamboja melalui penyiksaan, eksekusi, kelaparan, kerja paksa sepanjang 1975-1979. Begitu pula di Jerman setelah Perdang Dunia II yang menelan 6 juta jiwa Yahudi dan 60 juta orang lainnya, Nuremberg Trial tetap digear, walaupun Hitler sudah mati. Pengadilan kejahatan kemanusiaan tetap dilakukan atas 24 pemimpin utama Nazi seperti: Martin Bormann, Hans Frank, Herman Goring, Rudolf Hess dan lainnya. Bahkan Adolf Eichmann sang arsitek Holocaust, ditamgkap di tempat persembunyiannya di Argentina, lalu diadili di Tel Aviv, Israel dan dihukum gantung pada 31 Mei 1962.

Kejahatan KKN
Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme Soeharto, keluarga dan kroninya, juga tak bisa dan tak boleh dihentikan (seandainya) Soeharto meninggal dunia. Jaksa Agung mendukung dengan tindakan sangat terbatas, dan dengan keseriusan setengah hati, Hendarman hanya menggugat perdata yayasan Soeharto sekitar Rp.11,5 Triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal Soeharto menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam program Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative adalah pemimpin politik terkorup di dunia dengan “harta korupsi” sekitar 15 miliar-35 miliar dolar AS, yang dikelola oleh Soeharto Inc. sekarang (lihat www.soehartoincbuster.org). Adapun 10 besar koruptor terbesar di dunia menurut PBB adalahSoeharto (Indonesia) : US$15-35 miliar, Ferdinand E. Marcos (Filipina) : US$5-10 miliar, Mobutu Sese Seko (Kongo): US$5 miliar, Sani Abacha (Nigeria), Slobodan Milosevic (Serbia), Jean-Claude Duvalier (Haiti), Alberto Fujimori (Peru), Pavlo Lazarenko (Ukraina), Arnoldo Aleman (Nikaragua), Josep Estrada (Filipina).

Marcos sudah diburu harta jarahannya oleh Presidential Commision on Good Government (PCGG) dan disita sekitar sepertiga dari 10 miliar dolar AS. Alberto Fujimori ditangkap di Cile, diekstradisi ke Peru, sekarang masih diadili dengan kemungkinan hukuman 30 tahun. Sedangkan Joseph Estrada, ditahan di penjara, dihukum seumur hidup, dan diampuni presiden Filipina Arroyo, tetapi sejumlah hartanya disita. Gilanya, koruptor nomor satu di dunia, Soeharto, tak pernah ditahan, diadili, dan satu rupiah pun hartanya tak pernah disita. Bahkan bertambah Rp.1 triliun, karena Mahkamah Agung memenangkan perkara gugatannya terhadap majalah Time. Soeharto dan keluarga tentu saja sangat berbahagia, dapat uang, dan bersih namanya dari kemungkinan disebut sebagai koruptor sebagaimana yang ditulis Time.

Lucunya SBY pernah berjanji akan meminta keterangan kepada Presiden Bank Dunia Robert Zoellick pada Sidang Umum PBB 22-26 September di New York. Hasilnya nol besar, karena tak ada pembicaraan dan program SBY untuk menindaklanjuti StAR Intiative PBB. SBY hanya menebar janji tanpa bukti, karena niat utamanya ternyata agar semua kasus Soeharto selesai di luar pengadilan. Ternyata, SBY tetaplah presiden pelindung Soeharto, bukan pelindung rakyatnya.

Kasus mutakhir dari Cile, pemerintahan Michel Bachelet pada 4 Oktober 2007, menangkap isteri Jenderal (purn) Augusto Pinochet, Lucia Hiriart (84) dan lima anaknya: Augusto, Lucia, Marco Antonio, Jaqueline dan Veronica serta satu pengacara dan tiga pensiunan jenderal – Jorge Ballerino, Guillermo Garin and Hector Letelier – juga 13 pengikut utama Pinochet untuk kejahatan korupsi Pinochet (1973-1990) sebesar 27 juta dolar AS saja. Para pencari keadilan sepanjang Pinochet berkuasa 11 September 1973-11 September 1990, berada dalam ketidakpastian hukum yang sama seperti di Indonesia hari ini. Berlanjut hingga Presiden Patricio Aylwin (1990-1994), Eduardo Frei Ruiz-Tagle (1994-2000), dan Ricardo Froilán Lagos Escobar (2000-2006). Tiga presiden Cile tak berdaya terhadap Pinochet, keluarga dan kroni, sebelum. Lalu datang Michel Bachelet dan bertindak tegas.

Akhir kata
Pol Pot dan Hitler mati, tetapi pengadilan HAM berat atau kejahatan kemanusiaan tetap dilaksanakan. Tak ada impunitas terhadap pengikut Polt Pot dan Hitler. Pinochet juga mati, tetapi pengadilan korupsi tetap berjalan dengan menangkap isteri dan lima anak Pinochet. Kejahatan HAM berat, kejahatan terhadap umat manusia sepanjang 32 tahun rezim totaliter Soeharto-Orba juga tidak dapat dihentikan, kedaluwarsa, apalagi diselesaikan di luar pengadilan seperti tawaran SBY. Hukum dan keadilan tak boleh diistimewakan kepada seseorang siapapun, apalagi seorang dictator kejam dan barbar seperti Jenderal Besar (purn,) Soeharto.

Politik impunitas kroni Soeharto, pendukung utama Orba, adalah upaya cuci tangan atas partisipasi dan loyalitas penuh sepanjang 32 tahun rezim totaliter Orde Baru. Juga menyesatkan, karena menimpakan semua kesalahan Orba hanya pada Soeharto seorang diri, seolah-olah mengatakan, “penjahat Orba satu-satunya adalah Soeharto!”. Pengalaman Jerman, Filipina, Kamboja dan Cile, membuat kita tak perlu putus asa, walaupun sudah 10 tahun reformasi dengan empat presiden tak mampu mengusut Soeharto, keluarga dan kroninya. Kunci keberhasilannya, Pertama, kepemimpinan nasional baru yang tidak terkait atau berhutangbudi secara politik dan ekonomi terhadap rezim Soeharto-Orba, jadi tak mungkin berhasil di tangan pemimpin tua seperti SBY, JK, Gus Dur, Megawati, Wiranto, Amien Rais dan segenerasinya, karena itu ucapkan selamat tinggal pada generasi pertama kepemimpinan nasional pascareformasi; Kedua, kesabaran revolusioner, penumbuhan harapan baru, mengumpulkan data dan informasi sebanyak dan seakurat mungkin tentang semua kejahatan HAM dan korupsi Soeharto, keluarga, kroni dan pelanggar HAM, serta melanjutkan perjuangan bersama pencari keadilan dan demokrasi. Berpihak pada korban untuk melawan dan mengadili Soeharto, keluarga dan kroni korupsi dan pelanggar HAM.

Apa yang harus dilakukan? (1) publik serentak di seluruh Indonesia menolak penghapusan maupun penyelesaian di luar pengadilan semua kasus perdata dan pidana Soeharto-Orba yang berkaitan dengan KKN dan kejahatan HAM; (2) mendesak keras Jaksa Agung sekarang juga menyelidiki, menyidik, dan mengadili semua pelaku kejahatan kemanusiaan dan korupsi sepanjang 32 tahun Orba, selain Soeharto, bila tidak maka publik akan menyimpulkan kepura-puraan dan upaya untuk melepaskan mereka semua dari jeratan hukum; (3) meyakinkan semua pihak bahwa pengadilan kejahatan kemanusiaan dan korupsi Soeharto-Orba tidak boleh berhenti sampai kapanpun, hingga semua pelaku diadili dan dipenjarakan, serta harta korupsinya disita negara. Jadi setiap upaya untuk menghentikan semua perkara Soeharto-Orba akan dicabut suatu hari nanti seperti Michel Bachelet menyelesaikan perkara Pinochet, keluarga, kroni dan para jenderalnya. Hari ini SBY melindungi atasannya dengan berbagai cara, maka tindakan tersebut tetap salah dan akan dibuka lagi suatu hari nanti, ketika kekuatan politik dan ekonomi pendukung dan loyalis Soeharto bisa ditaklukkan publik.

Keadilan dan hukum harus diperjuangkan bersama, bila keadilan hilang dan lenyap dari muka bumi Indonesia, maka setiap hari manusia Indonesia yang tak bersalah diculik, disiksa, dipenjarakan, dilenyapkan, dan dibunuh, lalu harta rakyat pun dijarah. Itulah yang dilakukan sang diktator, Jenderal Besar (purn.) bersama pengikutnya para loyalis Orba sepanjang 32 tahun. Maaf secara pribadi boleh, tetapi hukum dan pengadilan tetap jalan terus, sampai kapanpun.

sumber klik DI SINI
Soeharto Bukan Pahlawan dan Guru Bangsa

Soeharto Bukan Pahlawan dan Guru Bangsa

June 18, 2014 Add Comment

Soeharto Bukan Pahlawan dan Guru Bangsa

Bisa jadi, jika PKS nanti memimpin dan berkoali dengan PG
dan PD maka wacana Soeharto sebagai pahlawan pun akan segera
terwujud tanpa halangan berarti di parlemen.
Maaf nih bung Irwan harahap, jika menurut anda ini termasuk
jelek - jelekin, lah abis mau bagaimana lagi kenyataannya
emang kayaka gini.
Yel..yel saat kampanye terbuka PKS di 2009 :
Hidup HNW, Hidup Tiffatul, Hidup PKS,
jayalah SOEHARTO ...

Senin, 10/11/2008 11:49 WIB
Sejarahwan: Soeharto Bukan Pahlawan dan Guru Bangsa
Ken Yunita - detikNews
Jakarta - Dalam iklan Hari Pahlawan, PKS memasang gambar mantan Presiden Soeharto. Apakah presiden RI kedua itu seorang pahlawan dan guru bangsa?
Menurut sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, Soeharto bukan seorang pahlawan. Hingga saat ini, pemerintah belum mengangkat penguasa orde baru itu sebagai seorang yang berjasa untuk Indonesia.
"Soeharto belum diangkat jadi pahlawan. Kalau guru bangsa, guru apa?" tanya Asvi saat diminta komentarnya soal iklan PKS oleh detikcom, Senin (10/11/2008).
Asvi pun mengaku heran dengan pemasangan gambar Soeharto di dalam iklan PKS itu. "Saya bertanya-tanya, ideologi PKS itu apa. Apa ini karena kemarin iklannya diprotes terus dia mencari tokoh lain," lanjut Asvi.
Asvi berpendapat, untuk mendapat gelar pahlawan, seseorang harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Menurutnya, ada dua kriteria yaitu, seseorang harus memiliki jasa-jasa yang besar dan dia tidak memiliki cacat.
"Soeharto memang pembangun paling besar di Indonesia, tapi dia juga perusak terbesar seperti meninggalkan utang US$ 150 juta. Itu kan membebani kita dan tidak akan lunas selama 7 turunan," ujarnya.
Jadi apakah usulan pengangkatan Soeharto diperlukan? "Sebaiknya tidak, biarkan Soeharto istirahat di Solo," tandasnya.
(ken/iy)
Sumber:
http://permalink.gmane.org/gmane.culture.media.mediacare/45564 
Soeharto Bukan Pahlawan!

Soeharto Bukan Pahlawan!

June 18, 2014 Add Comment
        Soeharto Bukan Pahlawan!
Oleh : Yoseph Tugio Taher | 14-Nov-2008, 22:31:32 WIB

KabarIndonesia - Ditayangkannya iklan partai yang bernama PKS di beberapa televisi selama 30 detik dalam menyambut Hari Pahlawan 10 Nopember 2008, dengan menampilkan deretan tokoh pahlawan  dan mensejajarkan Soeharto dengan Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, M. Natsir dan Bung Tomo, telah memicu kemarahan dan menyakiti hati rakyat dan bangsa Indonesia. Apalagi dengan teks yang menyatakan bahwa Soeharto sebagai "Pahlawan" dan "Guru Bangsa".

Pro dan kontra menghangati bumi persada. Pantas dan wajarkah Soeharto dianggap sebagai "Pahlawan" dan "Guru Bangsa"? Terlebih lagi, apakah Soeharto punya nilai untuk bisa di sejajarkan dengan Soekarno?

Partai Kroni Soeharto (PKS) menganggap Soeharto sebagai "Pahlawan" dan "Guru Bangsa". Begitu juga partai kandungnya Soeharto, ‘anak kesayangannya" semenjak lahir yaitu Partai Golkar.  Bahkan menurut Agung Laksono yang  Ketua DPR mengatakan, "Partai Golkar memandang bahwa Soeharto memang pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional," di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/11).

Terlepas dari kasus-kasus pribadi yang menyertainya, menurut Ketua DPR itu, Soeharto memiliki jasa yang besar terhadap bangsa ini.  "Jasa-jasa Soeharto harus bisa dipisahkan dengan kesalahan-kesalahannya yang manusiawi," ujarnya. Karena "Pak Harto pernah diusulkan Partai Golkar sebagai pahlawan nasional," Agung Laksono, menyambut baik munculnya sosok Soeharto dalam iklan Hari Pahlawan yang diluncurkan Partai Keadilan Sejahtera. Hal itu justru memperkuat usul pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, dan itu berarti yang kami lakukan benar adanya," kata Agung.

Lebih lanjut Agung mengatakan, Soeharto telah begitu lama melakukan aktivitas perjuangan bagi bangsa ini, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan. "Setiap pahlawan jika dilihat pribadinya tentunya memiliki dosa-dosa tersendiri. Begitu juga dengan Soeharto. Namun sebagai bangsa yang penuh budaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka sudah sepantasnya bangsa ini bisa menghargai jasa pahlawannya," katanya.

Agung sendiri enggan menanggapi komentar, Soeharto memiliki dosa yang seolah tidak terampuni bagi bangsa ini.
(Mengabaikan hal ini, tidakkah Agung Laksono ini hipokrit namanya?-pen)

Sudah barang tentu, usaha PKS dan Golkar itu disambut baik oleh semua kroni-kroni Soeharto, penerus-penerus Orba, loyalis Soeharto yang masih sempat bersembunyi dalam pemerintahan, DPR, Partai dan lembaga-lembaga negara dengan berjubahkan reformasi. Namun, bagaimana reaksi dari golongan yang benar-benar berjuang demi reformasi? Golongan yang berjuang menurunkan Soeharto dari tampuk kediktatoran, ketiraniannya, dan kekuasaannya?

Mantan Aktivis 1998 Budiman Sudjatmiko mengecam keras penayangan mantan Presiden Soeharto sebagai salah seorang guru bangsa dalam iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). "Soeharto tidak layak menjadi guru bangsa," katanya ketika dihubungi, Senin (10/11). Menurut politikus  PDI Perjuangan ini, atas dasar tindakan korupsi yang dilakukan hingga ke kroni-kroni dan berbagai tindak kekerasan, Soeharto tak pantas menyandang gelar guru bangsa  apalagi pahlawan nasional.
Dia menilai, PKS  telah beralih rupa menjadi partai nonreformis. "Ini membuktikan PKS tidak peka atas korban kemanusiaan dan kemiskinan akibat korupsi," katanya. Bahkan, dia mempertanyakan sikap PKS yang kembali memunculkan sosok Soeharto. "Apakah hanya demi kekuasaan, ideologinya pudar," katanya. (TEMPO Interaktif, Jakarta)
Aktivis mahasiswa 98, Syafic Alielha, saat berbincang-bincang dengan detikcom melalui telepon, mengatakan, "Saya kira PKS ahistoris. PKS lupa bagaimana Soeharto menjadi diktaktor paling panjang di dunia yang sepanjang kekuasaannya banyak orang terbunuh dan dihukum tanpa pengadilan. Ini juga menunjukkan PKS tidak memahami kerusakan yang dialami bangsa Indonesia saat Orba (Orde Baru)," ujar Syafic.

Syafic menegaskan, sistem politik dan sosial yang dibangun Soeharto di era kepemimpinannya membuat bangsa Indonesia hancur. Para politisinya korup sementara masyarakat digiring untuk bersikap pragmatis. Rakyat tidak diberi ruang untuk berekspresi dan bereksperimentasi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

"Ini semua yang membuat Indonesia sukar untuk bangkit lagi hingga saat ini. Semua orang cenderung mencari jalan pintas untuk meraih kekayaan," tegas Syafic.

Syafic menegaskan, sistem politik dan sosial yang dibangun Soeharto di era kepemimpinannya membuat bangsa Indonesia hancur. Para politisinya korup sementara masyarakat digiring untuk bersikap pragmatis. Rakyat tidak diberi ruang untuk berekspresi dan bereksperimentasi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

"Ini semua yang membuat Indonesia sukar untuk bangkit lagi hingga saat ini. Semua orang cenderung mencari jalan pintas untuk meraih kekayaan," tegas Syafic. Di sisi lain, sambung Syafic, keputusan menjadikan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan juga menunjukkan PKS tidak menghargai proses reformasi. Padahal proses reformasi diisi dengan pengorbanan para pejuang HAM dan partisipasi jutaan rakyat Indonesia.

Di sisi lain, sambung Syafic, keputusan menjadikan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan juga menunjukkan PKS tidak menghargai proses reformasi. Padahal proses reformasi diisi dengan pengorbanan para pejuang HAM dan partisipasi jutaan rakyat Indonesia. (Djoko Tjiptono - detikNews)

Akan tetapi, sudah jelas, kendati pun para pejuang demokrasi dan reformasi menolak ketokohan Soeharto, namun kroni-kroninya, para loyalis Soeharto yang masih bisa bersembunyi dalam partai-partai seperti PKS, dan Golkar, pimpinan dan pejabat yang masih duduk dikursi empuk pemerintahan, DPR, dan lembaga-lembaga lainnya terutama tokoh-tokoh yang hipokrit, mengaku reformis namun tindakannya anti-reformasi, yang dulu "ikut berjuang" menurunkan  Soeharto tahun 1998, namun sekarang menongolkan kepalanya, memperlihatkan wajah yang sebenarnya dan bersuara lantang untuk mengangkat Soeharto menjadi "pahlawan nasional"  dan "guru bangsa".

Apakah Soeharto mempunyai sejarah kepahlawanan? Dimana kepahlawanan Soeharto? Mari kita telusuri:

*Semenjak mudanya, ketika tokoh bangsa dan pahlawan berjuang demi rakyat dan bangsa Indonesia menentang penjajahan Kolonialis Belanda, Soeharto justru menjabat sebagai Sersan KNIL, sebagai tentara Kolonialis Belanda!

* Ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogyakarta, Letnan A. Latif memimpin pasukannya masuk kota melawan Belanda, Soeharto (yang menjadi atasannya Latief) malahan enak-enak makan soto babat di garis belakang. Sesudah Soeharto jadi Presiden, dia ngarang bahwa Serangan Umum I Maret 1949 adalah pimpinan dan prakarsanya. Persis seperti cerita telur ayam/bebek, yang setelah digoreng, dinamai "telur mata sapi". Ayam yang punya telur, sapi yang punya nama! Begitu pun Soeharto! Latif yang berjuang melawan Belanda, tetapi Soeharto yang cuma leyeh-leyeh di garis belakang sambil makan soto yang dapat nama. Dan Suharto "mengumumkan" perihal Serangan Umum 1 Maret 1949 ini, di saat dia sudah menjadi diktator yang paling kuasa. Siapa yang berani membantahnya?

* Ketika NKRI dirongrong oleh pemberontak separatis PRRI/Permesta, Soeharto justru melakukan korupsi besar-besaran di Kodam Diponegoro, Semarang.

* Ketika perjuangan merebut kembali Irian Barat, Soeharto adalah sebagai Panglima Mandala. Inilah barangkali satu-satunya perjuangan Soeharto melawan bekas majikannya, Kolonialis Belanda.

* Ketika situasi Indonesia menjadi gawat dan konfrontasi dengan Malaysia, Soeharto dan kliknya Yoga Sugama dan Ali Murtopo justru melakukan penyelundupan dan memberikan informasi ke Kuala Lumpur hingga TNI yang didrop di Malaysia banyak yang tertangkap dan dibunuh.

* Ketika keadaan Indonesia memanas disebabkan isu Dewan Jenderal, Soeharto bersekutu dengan Letkol. Untung Syamsuri (anak mantu angkat Soeharto), Kolonel A. Latif (bawahan dan orangnya Soeharto semenjak di Jogyakarta tahun 1949) dan Brigjen Supardjo, untuk melakukan aksi buat menggagalkan "Dewan Jenderal" yang diduga akan melakukan kup terhadap Bung Karno. Bahkan Soeharto sebagai Pangkostrad, memberi bantuan kepada gerakan Untung, Latif dan Supardjo yang kemudian dikenal sebagai G30S, dengan mendatangkan batalyon siap tempur dari Jawa Timur (Yon 530) dan dari Jawa Tengah  (Yon 454) ke Jakarta.

* Setelah Gerakan Untung, Latief, Supardjo yang kemudian disebut G30S yang dibantu dan diperlengkapi oleh Pangkostrad Majen Soeharto berhasil menculik dan mebunuh 6 orang Jenderal lawannya Soeharto (dalam peristiwa Kriminal Soeharto di Kodam Diponegoro tahun 50-an), Soeharto dengan licik bertukar arah. Niatnya sudah tercapai, para jenderal rivalnya sudah mati. Soeharto berbalik, memburu kawan-kawannya sekomplotannya yaitu Untung, Latif dan Supardjo dan membunuhi semua orang yang dianggap bisa menghalanginya buat mencapai kekuasaannya. Seperti Ken Arok yang mengawini Ken Dedes dan membunuh suaminya sang raja,  Soeharto menggunakan SP-11 Maret untuk menguasai negara dan membunuh si pemberi Surat Perintah itu yaitu Bung Karno, Presiden RI.

* Dengan kekuasaan yang ada padanya, Soeharto melibas semua musuh politiknya, terutama PKI yang direkayasa dan dikambinghitamkan oleh kliknya Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo, sebagai berada di belakang G30S. Pemburuan dan pembunuhan jutaan manusia komunis berlangsung di mana-mana di seluruh Nusantara. Darah tertumpah dan jutaan mati menjadi korban Soeharto demi mencapai kekuasaan. Para jenderal diperintah oleh Soeharto buat melakukan pembunuhan di mana-mana. Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, Jenderal Sumitro, Jenderal Sudomo, Jenderal Kemal Idris, Kolonel Yasir Hadibroto menjadi tangan kepanjangan Soeharto buat membunuhi bangsa Indonesia. Korban Soeharto berjatuhan di mana-mana!

Tanggal 2 Oktober 1965, setelah mendengar berita tentang "kup", Kolonel Yasir Hadibroto, waktu itu Komandan Kesatuan Infantri IV Kostrad di Sumatra Utara, datang, langsung menghadap Komandannya di Markas Besar Kostrad di Jakarta, Mayjen. Soeharto. Dia ditanyai oleh Soeharto, "Dimana kamu ketika pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948?"  "Saya baru saja dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukan saya diperintahkan untuk menghadapi 3 batalion komunis di Wonosobo," Yasir menjawab.

"Orang yang berontak hari ini adalah keturunan dari
PKI Madiun. Pergi, beresken mereka semua. D.N.Aidit di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," perintah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Di Jawa Tengah, D.N. Aidit, Ketua PKI, ditangkap, dibawa ke markas Batalyon Kostrad di Boyolali dan dibunuh!

Pukul 3.00 sore tanggal 24 Nopember 1965, Kolonel Yasir diterima oleh Soeharto di Istana Yogyakarta. Dia melaporkan segala sesuatu berkenaan dengan penangkapan PKI dan cara membereskan Aidit. Setelah memberikan laporannya, Kolonel Yasir memberanikan diri untuk bertanya: "Waktu Bapak mengatakan "bereskan" tentang D.N. Aidit, apakah itu yang Bapak maksud? Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto hanya TERSENYUM. Mystery ALMOST solved !!  by PAUL H. SALIM  Calgary, CANADA-  http://www.antenna.nl/wvi/eng/ic/pki/sal/myst.html                   

Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Mayjen. Dr. Soemarno, dengan anggota-anggota Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat  SH, Mayjen. Achmadi ( ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi SH, jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000   ( baca: tiga juta!) orang. "Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri" kata sumber itu.  http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html    
(Tidak heran kalau beberapa waktu yang lalu Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudoyono mengatakan bahwa membicarakan masalah G30S sebagai hal yang "tidak produktif", karena membicarakan masalah G30S,  mau tidak mau akan menyinggung  nama dan kekejaman bapak mertuanya yaitu Sarwo Edhi Wibowo, si penjagal 3 juta nyawa bangsa Indonesia-pen)


Di seluruh daerah, Aceh, Sumatra Utara, Barat, Selatan, Riau, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan daerah-daerah lainnya banjir oleh darah rakyat yang tidak melawan, orang-orang komunis yang tidak berdosa, ditangkap dan dibunuh oleh para militer suruhan Soeharto dan massa yang menjadi pengikutnya. Sungai-sungai penuh dengan mayat-mayat tak berkepala yang mengapung hingga berminggu-minggu bahkan berbulan penduduk merasa takut dan jijik memakan ikan sungai!

Demikian kebiadaban "bangsa Indonesia" dibawah perintah manusia diktator licik Soeharto. Mustahil, para petinggi, terutama mantan petinggi militer yang sekarang "duduk di atas"  menjadi pemimpin negara dan lembaga pemerintahan, MPR atau DPR, Kejaksaan dlsbnya  tidak mengetahui akan hal ini! 
Jendral Soemitro, Pangdam Brawijaya mengatakan bahwa "1 orang nyawa Jendral harus ditebus 100 ribu nyawa PKI". Ia pun mengiringi pembantaian massal di berbagai wilayah di Indonesia. Dia pulalah yang memimpin penangkapan, penggorokan, penembakan ratusan massa sekaligus dan membuang mayat mereka ke dalam lobang yang digali oleh para korban itu sendiri. Diperkirakan 250.000 korban mati atau hilang di Jawa Timur. [Indymedia-jakarta] MASS GRAVE IN INDONESIA                                                          

Team Pencari Fakta
yang dibentuk atas perintah Bung Karno mencatat laporan resmi para penguasa, antara 80.000-100.000 jiwa telah menjadi korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para penguasa sendiri menduga korbannya 10 kali lebih besar dari yang mereka laporkan (Memoar Oey Tjoe Tat).                                

Dr. Robert Cribb
, Dosen Sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne, memperkirakan jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa. John Hughes dalam bukunya "Indonesian Upheaval" (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga 400.000 orang. Donald Hindley dalam tulisannya, "Political Power and the October Coup in Indonesia" (1967), memperkirakan sekira setengah juta orangProf. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya "Toward New Order in Indonesia" memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.


Yahya Muahaimin dalam bukunya "Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966", memprediksikan sekira 100.000 orang. Ulf Sundhaussen, dalam bukunya "The Road to Power: Indonesian Military Politic 1945-1967" (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka, mengatakan bahwa dari seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa barat, bisa jadi hampir seluruhnya dibantai di Subang.  Reiza D. Dienaputra: Penelusuran kembali Peristiwa G30S 1965-  http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/.
                                                                
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, pembunuh berdarah dingin yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, kepada Panitia Pencari Fakta, mengaku "telah membunuh 3 juta komunis".
Pramudya Ananta Toer, Sastrawan dan bekas tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film dokumen "Shadow Play" mengatakan, "Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang dibunuh. Soedomo [Kopkamtib] mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD] mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang."  Sedang Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. (Perang Urat Syaraf...Kompas 9 Pebruari 2001)

"Dalam empat  bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun" ("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years," Bertrand Russel, 1966/Kathy Kadane, State News Service, 1990).                                                                            

Ratusan ribu manusia-manusia komunis yang tidak sempat dibunuh, ditangkap dan dijadikan tahanan politik. Diseluruh pelosok tanah air dibuat kamp-kamp tahanan untuk menahan orang-orang yang diindikasikan sebagai komunis. Sekitar 12.000 orang dibuang ke pulau Buru sebagai Tapol. Yang lain-lainnya menghuni rumah-rumah tahanan, penjara-penjara, atau kamp-kamp yang sangat tidak memenuhi syarat sebagai tempat tahanan manusia, bahkan juga makanan yang sangat tidak mencukupi, sehingga setelah ditahan bertahun-tahun tanpa proses tidak sedikit yang mati karena lapar. Di samping itu, para tahanan diambil malam hari dan dibawa entah kemana dan dihilangkan, dibunuh tidak tahu dimana kuburnya.

Seorang staf Kedubes AS, Josepf Lazarsky, Kepala Perwakilan Stasiun CIA di Jakarta, yang datang ke Kostrad dan melihat begitu banyak manusia yang menjadi tahanan, dan bertanya pada Soeharto tentang proses hukumnya. Jawabnya singkat, "siapa nantinya yang akan memberi makan mereka?" (Jenderal Soeharto Menuju Tahta kekuasaan-http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid =76, copied 10/11/2005 dan Maruli Tobing-Kompas 9 Pebruari 2001-Perang Urat Syaraf....)

Dan ini, tidak bisa tidak akan berarti bahwa memang sudah niat Soeharto untuk melenyapkan, membunuh  orang-orang Komunis yang dapat ditahan, sejalan dengan daftar 5000 orang tokoh dan kader PKI yang mesti dihabisi, yang menurut Cathy Kadane, wartawati Amerika yang mengungkap rahasia ini, disusun oleh Robert J Marten, mantan staf seksi politik di Kedubes AS di Jakarta yang ditugaskan, kemudian diserahkan oleh Edward Master, Kepala Seksi Politik Kedubes AS di Jakarta kepada sekretaris Adam Malik yang selanjutnya disampaikan ke markas Soeharto di Kostrad. Dan setiap saat Kedubes AS selalu mendapat laporan dari markas Jenderal Soeharto mengenai "realisasi" daftar itu.
 
Dengan fakta-fakta yang dikemukan diatas, kita bisa bertanya: "Soeharto itu pahlawan apa?" Apa bukti kepahlawanannya? Apakah membunuhi jutaan orang-orang yang tak berdosa dan tak melawan itu bisa disebut pahlawan? Tidakkah yang tepat mesti disebut sebagai algojo ketimbang pahlawan? Atau lebih jelas lagi teroris, pembunuh bangsanya sendiri?

Para kroni dan keluarganya mungkin mengagungkan Soeharto setinggi langit dengan mengatakan bahwa Soeharto adalah orang yang baik dan lemah lembut dan lebih banyak senyum dan saying terhadap semua. Ia bahkan mungkin tidak pernah membunuh nyamuk. Itu mungkin saja! Namun dibalik semua senyum liciknya, fakta sejarah membuktikan bahwa taktik liciknya, "ngluruk tanpa bala", menggunakan tangan orang lain untuk mencapai tujuannya, telah menelan jutaan korban bangsanya sendiri! Apakah itu buka suatu cacat yang maha besar dari orang yang dikehendaki oleh kroni dan loyalisnya untuk disebut sebagai pahlawan? Apakah Soeharto bisa disebut pahlawan? Bagaimana sebenarnya kriteria pahlawan itu?

Soeharto punya kekuasaan besar saat itu. Dia bisa menghitam dan memutihkan negeri. Andaikata, ya, andaikata dia mempunyai sifat "kemanusiaan yang adil dan beradab" seperti yang dituntut oleh Pancasila, maka dia bisa menghentikan pembunuhan massal atas jutaan manusia Indonesia yang tak bersalah, tak berdosa dan tak melawan kala itu.

Namun tidak, dengan jiwa busuknya, demi kekuasaannya dia justru membiarkan, mendorong, menganjurkan serta merestui rakyat yang berobah menjadi serigala,  dan menggunakan tangan-tangan lain melaksanakan kejahatan, dengan peribahasanya "nglurug tanpa bala".

Lantas, melihat semua fakta di atas, di mana kepahlawanan Soeharto? Bukankah peribahasa Indonesia mengatakan, ""Mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia." Nah, dimana kedudukan Soeharto dalam hal ini?

Dr. Asvi Warman Adam ahli peneliti sejarah pada Lembaga Ilmu Pengatuan Indonesia (LIPI), dalam wawancara dengan  Radio Nederland Wereldomroep 29 Januari 2008, memberi penjelasan, "Siapa yang bisa mengatakan atau dapat menyebut dia pahlawan, kecuali keluarganya atau kroninya, atau orang-orang yang diuntungkan oleh dia? Tetapi sangat sulit menjadikan Soeharto pahlawan nasional. Karena kriteria pahlawan nasional itu adalah orang yang sangat berjasa untuk negara dan bangsa Indonesia. Dan di dalam perjuangannya itu tidak mempunyai cacat.  Apakah Soeharto tidak mempunyai cacat dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang sejarah 30 tahun itu. Itu kan cacat yang sangat besar. Belum lagi kalau kita telusuri korupsi yang dilakukan, misalnya melalui yayasan dan lain-lain. Jadi sangat sulit untuk misalnya mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional."
Begitu juga Anhar Gonggong, sejarahwan yang juga menjadi anggota tim penyeleksi pahlawan, mempertanyakan kelayakan Soeharto mendapat gelar pahlawan.

"Saya mau tanya, apakah nggak malu punya pahlawan seorang koruptor gede? Koruptor yang merusak negara, walaupun dia pernah menjadi presiden?" ujar Anhar dalam perbincangan dengan detikcom via telepon, Selasa (11/11/2008).

Anhar tidak bersedia memberikan penilaian secara langsung tentang kelayakan Soeharto mendapat gelar pahlawan. Yang dia lakukan hanyalah mempertanyakan dan sekaligus mengajak masyarakat berpikir, apakah Soeharto layak diberi gelar pahlawan.

"Saya cuma memberikan input kepada masyarakat, biar masyarakat yang memberikan penilaian," lanjutnya.

Anhar lantas mencontohkan, di Taiwan, mantan Presiden Chen Shui-bian ditangkap Kejaksaan Taiwan karena tersandung kasus korupsi. Namun di Indonesia, mantan Presiden Soeharto yang sudah jelas-jelas korupsi besar-besaran tidak disentuh oleh Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Kejaksaan banci, KPK juga banci dalam menghadapi Soeharto. Untuk yang lain mungkin KPK hebat, tapi menghadapi Soeharto, KPK banci," cecarnya.

Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru Semaun Utomo di Semarang, Jawa Tengah, mengaku heran dengan sikap PKS yang memposisikan penguasa Orde Baru itu sebagai guru bangsa yang sejajar dengan para pahlawan. "Saat Soeharto meninggal saja banyak kasus korupsinya yang masih belum jelas," kata Semaun. Ia juga menyebut almarhum Soeharto harus bertanggung jawab atas banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama ia berkuasa 32 tahun. "PKS juga harus ingat ribuan nyawa yang melayang sejak tragedi 30 September 1965."

(Untuk diketahui, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru mempunyai Daftar Nama dan Alamat ribuan nama  korban.  Soeharto, yang ditahan, yang dibunuh dan dihilangkan tanpa proses, bahkan diperkosa dalam peristiwa 1965, dari seluruh pelosok tanah air, yang sudah diserahkan ke tangan Komnas HAM-pen)

Semaun mengingatkan, jika PKS tetap mengangkat nama Soeharto sebagai isu untuk mendulang suara dalam Pemilu 2009, mereka juga akan melakukan kampanye untuk tidak memilih PKS. "Kami bisa melakukan itu." Demikian Semaun Utomo. 


Jadi, rakyat yang menderita, yang berpikir, bisa melihat dengan nyata, dasar apa yang bisa digunakan oleh partai-partai buat mengangkat Soeharto sebagai "pahlawan". Pahlawan NASIONAL lagi!  Amboi........Lantas, kalau jadi pahlawan saja tidak pantas, apalagi menjadi guru bangsa! Pelajaran apa yang sudah diperoleh rakyat dari "guru" Soeharto ini? Apakah pelajaran tentang bagaimana berlaku licik; tentang bagaimana merekayasa dalih supaya komunis bisa dihancurkan; tentang bagaimana memusnahkan kaum atau golongan yang tak melawan dengan bedil dan bayonet; tentang bagaimana melakukan kup merangkak; tentang bagaimana membunuh founding father secara pelan-pelan dan pasti; tentang bagaimana caranya "membangun negeri" dengan berutang kepada luarnegeri, sedang 30% masuk kantongnya sendiri, dan rakyat sampai anak cucu yang mesti menanggung bayar utang yang dibuat Soeharto sedang anak cucu Soeharto punya kekayaan yang bertebaran di luarnegeri, di Inggris, Amerika, Bermuda, Cayman, Suriname, New Zealand, Australia, Singapura, malaysia, Philipina, Burma, Cina dll. (Silahkan baca: Sembako, Harta dan Hutang Soeharto, Harian Onlinre Kabar Indonesia/Berita Nasional 7 Pebruari 08) Apakah itu yang mesti dipelajari dari "guru" Soeharto ini? Lantas kalau cuma hal-hal jelek itu yang bisa dicontoh dari Soeharto, maka "guru" apa namanya itu?

Para kroninya, tidak bisa memberikan bantahan atas semua kebobrokan Soeharto, tokohnya ini, selain dengan tipu licik coba membela Soeharto, seperti apa yang dikatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono,  "....sebagai bangsa yang penuh budaya dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,  maka sudah sepantasnya bangsa ini bisa menghargai jasa pahlawannya."

Nampak jelas, betapa bangsa ini dinina bobokkan atau ditipu (!) oleh kroni-kroni Soeharto dengan mengatakan, "Sebagai bangsa yang penuh budaya dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan." 
Kalau Ketua DPR ini pernah belajar sejarah, apakah Soeharto "penuh budaya dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,"  ketika dia memerintahkan Yasir Hadibroto membunuh Aidit tanpa proses hukum dan keadilan;  ketika dia membunuh Bung Karno; ketika dia memerintahkan dan merestui pembasmian lebih dari 3 juta orang komunis di Indonesia? Apakah Soeharto pernah menghargai pahlawan Kemerdekaan Indonesia Bung Karno? Bahkan, Soeharto berusaha untuk menyeret Bung Karno, yang dituduhnya terlibat dengan G30S. Namun, setelah usaha Soeharto ini tidak berhasil, karena tidak ada dasar, fakta dan bukti untuk bisa membawa Soekarno ke depan Mahmilub, maka Soeharto yang licik menggunakan ungkapan Jawa "Mikul dhuwur, mendhem jero", jadi Sukarno tidak dimahmilubkan.

Akan tetapi, kelicikan dan kebusukan Soeharto tetap berjalan. Soekarno dijadikan tahanan dan kemudian diusir dari Istana dalam keadaan sakit. Tidak ada yang dibawa Soekarno dari Istana, selain Bendera Pusaka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan dikibarkan untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1945. Bendera itu hanya dibungkus dengan kertas koran...

Selama sakitnya, Soekarno tidak mendapat perawatan ataupun pengobatan sampai meninggalnya. Dan rakyat yang mendengar, mengetahui dan melihat perlakuan Soeharto terhadap Bapak Bangsa itu, sesungguhnya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Drs. Mohammad Hatta, bahwa Soeharto adalah pembunuh Bung Karno!

"Selama di tahan di Wisma Yaso, Bung Karno diperlakukan sangat tidak manusiawi sekali. Bung Hatta, mantan Wakil Presiden Pertama RI, sahabat Bung Karno,  menceritakan bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekedar mengizinkan mendatangkan seorang dukun pijat, ahli pijat langganan Bung Karno dan juga langganan Bung Hatta, ditolak oleh Soeharto!  Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit berkurang. Penolakan Soeharto itulah yang kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada 15 Juli 1970 kepada Suharto  yang  mengecam betapa  tidak  manusiawinya  sikap  Suharto itu! Bung Hatta minta kepada Soeharto lewat Jaksa Durmawel SH, agar dilakukan pengadilan untuk memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintah Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta". (Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik,   http://www.progind.net/)      

                                                                                                
Nah, dengan sedikit pembeberan fakta-fakta di atas, kita akan dapat mempelajari dan mengetahui sampai dimana tingkat "nilai-nilai kemanusiaan" Soeharto. sampai dimana tingkat "kepahlawanannya" dan sampai di mana tingkat ke "guru"annya, yang oleh kroni-kroninya, para loyalisnya ingin dijadikan "pahlawan nasional" dan "guru bangsa".Apakah pantas Soeharto menjadi ‘pahlawan nasional" dan "guru bangsa"?

"Sebab, kalau Suharto dianggap sebagai pahlawan nasional dan guru bangsa, maka bisa berarti bahwa kita harus memandang segala dosa atau kejahatannya (yang sudah dilakukannya selama 32 tahun) sebagai hal yang serba baik juga. Dan, kita juga tidak bisa menganggap Suharto sebagai guru bangsa, sebab kenyataannya justru ia adalah seorang oknum yang membikin banyak kerusakan parah bagi rakyat dan negara. Menyetujui adanya gagasan pemberian gelar "pahlawan nasional dan guru bangsa" kepada Suharto adalah pengkhianatan yang sebesar-besarnya kepada puluhan juta orang yang telah menjadi korban rejim Orde Baru, dan kepada generasi muda Indonesia yang sudah meng-emohkan atau menajiskan kepemimpinannya. Kita semua harus memperlakukan Suharto seadil-adilnya, dan menilainya secara benar dan jujur, menurut kenyataan yang sebenarnya. Memang, tentulah Suharto ada "jasanya". Tetapi jasa yang dibikinnya ibaratnya adalah segundukan kecil saja, sedangkan dosa dan kejahatannya adalah sebesar gunung. Kebaikannya tentu ada juga, tetapi jelas sekali, seperti yang sudah disaksikan sendiri oleh banyak orang selama ini, bahwa kejelekannya atau kebusukannya adalah jutaan kali lebih banyak lagi.  Karena itu, hendaknya sama-sama kita renungkan dalam-dalam yang berikut ini, yaitu:  pemberian gelar "pahlawan nasional" kepada Suharto adalah malapetaka dan aib besar bagi bangsa kita, dan juga penamaan bahwa ia "guru bangsa" adalah memberikan dosa kepada rakyat dan juga warisan haram bagi generasi yang akan datang. Sebab, kenyataannya Suharto adalah guru (bahkan, guru besar !) dalam hal-hal yang haram, nista dan penuh dosa. 


Oleh karena itu, usul atau gagasan tokoh-tokoh Golkar semacam itu bisalah diumpamakan sebagai tambah mengotori muka mereka (yang sudah penuh dengan kotoran dan borok selama puluhan tahun Orde Baru) dengan comberan. Karena tokoh-tokoh PKS juga mengusulkan julukan "guru bangsa" bagi Suharto, maka muka PKS pun kecipratan oleh comberan ini.

Dosa Golkar terhadap rakyat Indonesia sudah terlalu banyak dan terlalu lama selama lebih dari 40 tahun! Usul pemberian gelar "pahlawan nasional" kepada Suharto hanya menunjukkan lebih gamblang lagi bahwa Golkar sebenarnya adalah satu dan senyawa dengan Suharto, yaitu sama-sama pengkhianat terhadap Bung Karno dan rakyat! (dikutip dari tulisan A.Umar Said, Paris,  dari artikel "Suharto bukanlah pahlawan dan bukan pula guru bangsa")

Masalah penokohan Soeharto adalah masalah besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Apakah Rakyat dan generasi muda yang bakal mewarisi tanah air tercinta ini akan membiarkan bangsa besar ini mepunyai "pahlawan nasioanal" dan "guru bangsa" yang adalah penjahat kemanusian, pembunuh jutaan bangsanya sendiri dan koruptor besar? Rakyat dan generasi muda harus melek dan waspada menghadapi dan melawan praktik-praktik hipokrit bulus-bulus politikus yang selama ini menyelam mengikut reformasi seperti PKS dan Golkar dll., namun hakekatnya anti reformasi dan kini nongol kepermukaan menunjukkan wajah aslinya sebagai loyalis dan penerus Orba/Soeharto, yang  berusaha untuk menjadikan pembunuh dan penjahat kemanusiaan serta koruptor besar Soeharto sebagai "pahlawan nasional" dan "guru bangsa".


***



Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com// 

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20081114182436
Soeharto Bukan Pahlawan Nasional

Soeharto Bukan Pahlawan Nasional

June 18, 2014 Add Comment
Rabu, 12 November 2008 diposting pada kategori KRONIK

Soeharto Bukan Pahlawan Nasional


KEINGINAN Partai Golkar menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, ditolak Ketua Relawan Pejuang Demokrasi (Repdem) Budiman Sudjatmiko. Mantan aktivis 1998 dan Ketua PRD ini menganggap Soeharto tidak layak dijadikan guru bangsa, karena berbagai tindakan dan keputusannya selama menjadi presiden, lebih menguntungkan kepentingan pribadi dan kroninya.
Budiman yang kini bergabung dengan PDI Perjuangan ini menegaskan, tindakan kekerasan yang dilakukan Soeharto terhadap rakyat dan orang-orang yang bersikap kritis kepadanya adalah bukti bila Soeharto tidak pantas menjadi guru bangsa maupun pahlawan nasional.
Saat dihubungi Hot News www.pdiperjuangan-jatim.org, Rabu (12/11), Budiman juga mempertanyakan sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menokohkan Soeharto dalam iklan politiknya. Budiman menilai, PKS tidak peka terhadap korban kemanusiaan dan kemiskinan yang timbul akibat kepemimpinan Soeharto.

"Saya melihat iklan politik yang ditampilkan PKS cenderung ngawur dan membuktikan bila PKS telah berkelamin ganda, dari semula partai Islam menjadi Islam nasionalis. Selain itu, PKS juga bertentangan dengan semangat reformasi yang ada," ujar Budiman. (vie) 



Sumber:
http://pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=2023
Soeharto Bukan Pahlawan Tapi Penjahat Nasional

Soeharto Bukan Pahlawan Tapi Penjahat Nasional

June 18, 2014 Add Comment

Soeharto Bukan Pahlawan Tapi Penjahat Nasional




Para korban pelanggaran hak asasi manusia semasa pemerintahan Presiden Soeharto menolak dengan tegas pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua RI tersebut. Gelar yang tepat untuk Soeharto justru penjahat nasional.


Quote:
Para korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk Keadilan itu merasa sakit hati dengan rencana tersebut karena mereka menilai Soeharto sebagai pelanggar berat HAM dan koruptor ulung di Indonesia.
Bedjo Untung, selaku Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966, mengatakan, salah satu pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto adalah pembunuhan terhadap 3 juta orang yang diduga menjadi antek komunis dalam peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) pada 1965.

Penangkapan, pengasingan, hingga pembunuhan para tahanan politik waktu itu, kata Bedjo, sangat tidak manusiawi dan patut disamakan dengan gerakan fasisme yang dilakukan Adolf Hittler terhadap kaum Yahudi. "Soeharto itu seperti Hittler, fasisnya Indonesia. Soeharto itu sangat-sangat kejam," kata Bedjo dalam jumpa pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Menteng, Jakarta Pusat, Senin (18/10/2010) siang.

"Gelar yang pantas untuk Soeharto ini sebetulnya adalah penjahat nasional," tegas Bedjo, yang pernah ditahan pada 1970-1979 di Salemba dan Tangerang karena kasus tersebut. Ayahnya juga ikut ditahan atas kasus yang sama, bahkan pernah dibuang pula ke Pulau Buru.

Kekecewaan serupa juga disampaikan oleh Suciwati, istri mantan Koordinator Kontras, Munir. Suci menilai, gelar pahlawan nasional semestinya diberikan berdasarkan asas keadilan dan keteladanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Suci juga mempertanyakan gelar Bapak Pembangunan yang selama ini disandang Soeharto karena, menurutnya, proses pembangunan itu dilandasi oleh sikap koruptif oleh Soeharto dan kroninya. "Apa teladan yang bisa diambil dari Soeharto? Saya malu untuk ngomong gelar, apalagi gelar pahlawan, untuk Soeharto," tegas Suci.

Atas kekecewaan tersebut, JSKK akan mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Sosial dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meninjau ulang rencana pemberian gelar tersebut.


Sumber:
http://jualbeliforum.com/berita/71633-soeharto-bukan-pahlawan-tapi-penjahat-nasional.html
Petisi Menolak Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional

Petisi Menolak Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional

June 18, 2014 Add Comment

Petisi Menolak Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional



Bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum dengan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat”
Bahwa UUD 1945 memberikan jaminan kepada warga negara Indonesia atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahwa Tap MPR RI No XI/MPR/1998, menyatakan upaya pemberantasan KKN dilaksanakan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk Presiden Soeharto.

Bahwa Penyelenggaraan Negara, dibawah kepemimpinan Soeharto telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan hukum sedemikian rupa. Praktek otoriter, represif, korup, militeristik dan pelanggaran HAM terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.

Bahwa penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan rejim Soeharto di masa lampau, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sampai dengan saat ini.

Bahwa kematian Soeharto hanya mengugurkan kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan secara hukum. Namun tidak menggugurkan kewajiban Negara untuk melakukan proses hukum terhadap praktek-praktek korupsi dan pelanggaran HAM di masa lalu.

Bahwa Pemberian gelar pahlawan bukan hanya persoalan prosedural, tetapi menyangkut hajat kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Dan Gelar pahlawan hanya layak disandangkan kepada orang yang memiliki integritas, bersih dari korupsi, kekerasan dan berbagai tindak penyelewengan.

Bahwa berdasarkan hal-hal diatas, kami menyatakan;
Pertama, Menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan berbagai upaya pembersihan nama Soeharto di luar proses hukum.
Kedua, Memberikan gelar Pahlawan kepada Soeharto adalah penghianatan terhadap cita-cita dan perjuangan reformasi, mencederai rasa keadilan dan menghina akal sehat.
Ketiga, Mendesak kepada pemerintah menghentikan upaya-upaya pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto dan memperhatikan secara cermat fakta dan implikasi sosial dan politik dari praktek rezim Soeharto.
Keempat, Mendesak pemerintah segera melakukan tindakan hukum yang layak atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi dimasa lalu.
Kelima, Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk kritis terhadap upaya-upaya kembali-nya kekuatan Orde Baru dan kebijakan-kebijakan sosial politik yang jauh dari semangat dan cita-cita Reformasi.
Keenam, Menyerukan kepada warga bangsa untuk tidak memberikan dukungan atau keterlibatan lewat partai politik atau sarana sosial lainnya kepada semua orang yang pernah terlibat dalam praktek kekerasan di masa rezim Soeharto.

Jakarta, 4 November 2010

Gerakan Tolak Soeharto Menjadi Pahlawan
Soeharto, Pahlawan atau Penghianat Bangsa ?

Soeharto, Pahlawan atau Penghianat Bangsa ?

June 18, 2014 Add Comment

Soeharto, Pahlawan atau Penghianat Bangsa ?

MARI menimbang soal ini dengan pikiran jernih. Ayo kita bebaskan diri dari rasa suka atau tidak suka. Kita lakukan ini sebagai bentuk tanggung jawab terhadap eksistensi kita sebagai manusia Indonesia. Sodorkanlah fakta-fakta dan jelaskan argumentasinya. Apakah Soeharto itu pahlawan atau penghianat bangsa ?

Ini soal penting buat kita semua, Bangsa Indonesia. Kenapa ? Karena periode 32 tahun Soeharto berkuasa adalah kurun waktu yang sangat panjang, lebih dari satu generasi. Periode 32 tahun itu adalah bagian penting sejarah kita semua, baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, suku dan bangsa. Pendeknya, pengaruhnya sangat besar terhadap kehidupan kita hari ini dan esok, mungkin juga sampai 50 tahun yang akan datang.

Sampai 50 tahun yang akan datang? Ya, karena sejumlah kebijakan Soeharto, terutama kontrak-kontrak jangka panjang eksplorasi kekayaan alam kita, misalnya kontrak dengan Freeport di Papua, masih tetap berlaku. Disamping itu, tidak adanya kebebasan untuk berekspresi selama dia berkuasa sangat besar pengaruh negatifnya terhadap mutu pendidikan, kemampuan kita berkarya, berorganisasi, berkeluarga, bermasyarakat dan bergaul di dunia internasional.

Soeharto memang sudah beristirahat untuk selamanya, tapi dampak kekusaannya masih akan menyiksa kehidupan bangsa ini ke depan. Bahkan bukan hanya berupa dampak, tapi merupakan akibat langsung dari sejumlah kebijakannya di masa lalu, yang kini sudah menjadi beban persoalan dan tanggung jawab yang riil buat kita semua.

Mari kita lihat tiga fakta saja dari ratusan fakta yang ada. Setelah membaca tiga fakta ini silakan menyimpulkan sendiri apakah Soeharto seorang pahlawan atau penghianat bangsa. Kalau anda merasa tiga fakta ini kurang penting sebagai tolok ukur untuk menilai Soeharto, silakan kemukakan fakta yang lebih penting, yang secara riil berpengaruh langsung terhadap kehidupan rakyat Indonesia..
***
FAKTA pertama : krisis energi, yang sekarang sudah menjadi masalah yang gawat dan bisa melumpuhkan kehidupan di negara ini. Yang paling mencolok adalah harga minyak tanah yang terus naik dan sering hilang dari pasaran. Harga solar juga terus melonjak,sehingga hampir menyamai harga bensin, dan sering pula hilang dari pasaran.

Kalau anda tergolong masyarakat yang beruntung, dalam arti tetap makmur ketika sebagian besar warga bangsa ini makin miskin, mungkin anda sudah lama tidak membutuhkan minyak tanah. Anda terbiasa menggunakan gas dan listrik, jadi masa bodohlah dengan kesusahan orang-orang miskin itu. Siapa suruh tetap menggunakan minyak tanah buat masak?

Begitu pula untuk kendaraan, mungkin dari dulu anda memang tidak memakai solar, jadi masa bodohlah problem angkutan umum dan para nelayan yang tidak bisa melaut karena harga solar makin mencekik leher, dan solarnya langka pula.Tapi bisakah anda terus masa bodoh, ketika PLN terpaksa melakukan pemadaman bergilir, lantaran sebagian besar gardu penyalur listrik digerakkan mesin bertenaga solar ?

Silakan terus bersikap masa bodoh, tapi ingat, sebentar lagi anda pun akan ikut menjadi korban. Gas dan bensin sebenarnya sudah dalam tahap kritis, namun pemerintah terus mensubsidi demi menjaga dukungan politik masyarakat kelas menengah– yang di negeri ini terlanjur menjadi kacung setia kelas yang berkuasa.

Apa hubungannya dengan Soeharto ? Krisis energi itu adalah tanggung jawab langsung diktator yang sudah berlalu ini. Soeharto-lah yang menguras kandungan minyak dari perut bumi Indonesia, melalui kebijakan yang sembrono dan bodoh. Soeharto-lah yang mengambil keputusan dan meneken kontrak karya dengan puluhan perusahaan asing, dengan durasi sampai 90 tahun, dengan pembagian hasil yang merugikan bangsa Indonesia dan tanpa visi ke depan mengenai kebutuhan bangsa ini terhadap BBM.

Sekarang Indonesia sudah berubah menjadi pengimpor BBM sepenuhnya (net imported), tapi masih saja tak punya malu, masih terus aktif di persatuan negara pengekspor minyak, OPEC. Sejatinya Indonesia memang masih produsen minyak, tapi sebagian besar hasilnya diekspor. Itu sesuai kesepakatan yang dulu diteken Soeharto dengan perusahaan-perusahaan asing itu. Dan tahukah anda, minyak yang diekspor itulah yang kemudian kita impor. How stupid! Dengan fakta ini, masihkah anda ngotot menyebut Soeharto pahlawan bangsa?

Para pendukung Soeharto mengatakan, diktator ini berjasa besar membuat rakyat Indonesia dapat makan nasi dan hidup layak. Tahukah anda bagaimana itu bisa terjadi ? Soeharto mengambil jalan pintas, yaitu menguras kekayaan alam dan berhutang ke luar negeri dalam jumlah yang sangat fantastik. Sekadar pembanding, hutang Indonesia ketika Soeharto berkuasa—dengan penduduk 110 juta waktu itu, sama besarnya dengan hutang luar negeri India dengan penduduk 900 juta. India memanfaatkan hutang luar negeri itu untuk modernisasi pertanian, dan sejak dekade 90-an negara itu mampu swasembada pangan. Bagaimana dengan Indonesia?
***
FAKTA kedua : BLBI alias perampokan ekonomi rakyat lewat kebijakan liberalisasi ekonomi dan sektor keuangan, yang pada dasarnya adalah menghianati bangsa dan negara. Kasus BLBI inilah yang menyebabkan perekonomian kita ambruk menjelang kejatuhan Soeharto, dimana hutang-hutang pihak swasta ke luar negeri, yang dijamini Soeharto, menyebabkan nilai mata uang kita jatuh dan sejumlah aset berharga di negeri ini menjadi sampah. 

Terkait dengan kebijakan itu adalah masuknya Indonesia dalam sistem pasar bebas global, dengan foto terkenal saat Soeharto berdiri sejajar dengan Presiden AS Bill Clinton, pada saat APEC diadakan di Indonesia. Kesannya Indonesia sudah sejajar dengan negara-negara maju, tapi pada saat itulah dimulainya penderitaan puluhan juta petani di negeri ini. Sebab tak lama kemudian, hasil pertanian dari mancanegara membanjiri pasar domestik, dengan harga lebih murah dan mutu lebih baik; sehingga petani kita kalah bersaing. Masihkah anda menyebut Soeharto pahlawan bangsa ?
***
FAKTA ketiga : kebangkrutan intelektual, matinya semangat kompetisi dan kelumpuhan institusi-intitusi sosial. Tiga masalah ini aku gabungkan untuk ringkasnya saja, dan memang ketiganya terkait dengan watak dan perilaku kediktatoran Soeharto yang anti-demokrasi dan neo-feodal. Sebenarnya, masing-masing dari ketiga topik tersebut adalah masalah maha besar, yang akan menghabiskan puluhan tahun dan trilyunan lembar kertas untuk membahas dan menulisnya.

Kekuasaan Soeharto mirip dengan jaring laba-laba raksasa, yang menyusup dan mencengkram sampai ke unit terkecil kehidupan masyarakat Indonesia. Lewat jaring raksasa itu Soeharto dapat mengontrol secara efektif kehidupan setiap orang dan kelompok di masyarakat. Jaring laba-laba itu adalah mesin pengendali yang canggih, gabungan dari intelijen militer, intelijen kepolisian, organisasi para-militer, jaringan pengawas kepatuhan di tubuh birokrasi, perpanjangan tangan kekuasaan rezim sampai ke tingkat RT, dan pengendalian melalui organisasi profesi yang cakupannya sampai ke kelompok marginal seperti kaum waria.

Soeharto melengkapi jaringan kontrol dan intelijen raksasa itu dengan sistem nilai klasik : hukuman dan hadiah. Dan tidak tanggung-tanggung, dengan nyali besar dan rasa tega, Soeharto menjadikan tokoh-tokoh pahlawan yang dicintai dan dihormati masyarakat sebagai bukti kesungguhannya untuk menghukum orang-orang yang tidak patuh dan tunduk kepadanya.

Bung Karno,Bung Hatta, Hoegeng dan Ali Sadikin, misalnya, selain dihukum dengan cara diisolasi juga dirampas hak-hak politik dan hak sipilnya. Orang jadi takut sekadar bertemu atau bersalaman ketika jumpa di satu acara dengan tokoh-tokoh tersebut, karena pasti akan dilaporkan ke Soeharto dan hidupnya bakal sengsara. Sebaliknya, Soeharto mengkooptasi orang-orang yang semula kritis terhadapnya, sehingga berbalik menjadi pendukung setia, antara lain Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara.
Dengan kekuasaan yang begitu besar dan jaringan kontrol yang canggih, serta punishment and reward tadi; Soeharto dengan leluasa mematikan sikap kritis di lingkungan perguruan tinggi, media massa, kalangan seniman, di tubuh partai politik dan organisasi massa, bahkan sampai ke lembaga-lembaga keagaamaan dan adat. Semuanya harus menunjukkan dan membuktikan kepatuhan terhadapnya, jika tidak : matilah kau!

Dampaknya, sikap kritis yang paling wajar, yang merupakan bagian penting dari kehidupan akademis; menjadi terkikis dan mati. Banyak fakta-fakta hasil penelitian ilmiah, terutama di lingkungan ilmu-ilmu sosial, terpaksa diubah dan disesuaikan dengan kondisi yang dapat ditolerir oleh rezim Soeharto. Para ahli di perguruan tinggi jadi malas melakukan penelitian, akhirnya menempuh jalan pintas dengan cara mengutip pendapat para ahli barat yang tidak berlawanan dengan rezim Soeharto. Sikap kritis dibuang, lalu belajar jadi penjilat.

Hal yang sama terjadi di media massa dan dunia seni, termasuk di bidang penerbitan buku. Demikian pula di dalam kehidupan sosial, termasuk di lingkungan keagamaan, semuanya dipaksa menyesuaikan diri dengan standar-standar yang didiktekan rezim Soeharto. Di lingkungan birokrasi lebih parah lagi, semuanya menjadi robot tanpa nurani.

Pendek kata, sikap kritis kemudian dianggap sebagai sumber malapetaka, tindakan bodoh atau cari penyakit. Demi keamanan diri, orang terpaksa membeo meskipun berlawanan dengan hati nuraninya. Makanya yang berkembang di Indonesia adalah kepandaian menjilat dan sikap hipokrit di dalam semua aspek kehidupan.

Dalam situasi demikian, dimana kepatuhan dan kepandaian menjilat adalah segalanya, maka dengan sendirinya budaya kompetisi yang sehat pun ikut mati. Dan lembaga-lembaga sosial menjadi kehilangan jati diri serta kekhasannya, karena terpaksa atau sukarela menyesuaikan diri dengan keadaan.Ini salah satu sebab mengapa seni budaya suku-suku di Indonesia mandeg atau bahkan punah, karena kehilangan elan dan jati diri. Itu semua gara-gara Soeharto, sang diktator yang selalu tersenyum. Nah, apakah Soeharto seorang pahlawan atau penghianat bangsa ? (Robert Manurung)


Sumber:
http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/02/08/soeharto-pahlawan-atau-penghianat-bangsa/
Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional

Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional

June 18, 2014 Add Comment

Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional

Tanggal Berita 2013/11/10 14:02:16

BANDUNG, (PRFM) - Hari pahlawan yang jatuh hari ini (10/11) membuat wacana pengangkatan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto sebagai pahlawan negara kembali mengemuka. Namun, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menuai pro kontra dikalangan masyarakat, salah satunya Aktivis Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (Kompak), Fadjroel Rachman.

Fadjroel menilai, Soeharto tak layak dijadikan pahlawan nasional, sebab menurutnya hingga saat ini Soeharto masih menyisakan "dosa" semasa jaman orde baru.Dosa yang dimaksud yakni terkait tindak pidana korupsi dan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sewaktu jaman orde baru.

"Ya sangat tidak layak dan ini sudah dua kali ditolak. Saya bersama teman-teman hampir selama 2 tahun kami menolak dan akhirnya dibatalkan, dan yang terakhir akan dijadikan nama jalan, kami usulkan ditolak dan akhirnya ditolak juga. Alasannya Soeharto masih memiliki masalah dalam kasus korupsi dan pelanggaran HAM dan hingga kini belum selesai,"ujarnya

Fajroel menjelaskan permasalahan korupsi yang dipermasalahkan yaitu penyelewengan uang negara oleh keluarga besar Soeharto, dan dana tersebut, kata Fajroel telah di investasikan kepada 315 perseroan terbatas milik keluarga Cendana.

"Kejahatan korupsi, ini terkait bukan hanya para pejabat elit orde baru, tetapi juga mahasiswa lebih memfokuskan kepada koupsi yang terkait keluarga cendana. Sebagaimana kita tahu, sampai akhir Soeharto jatuh, kita mencatat keluarga istana memiliki 315 perseroan terbatas dari enam anak sampai 1 cucu, kemudian dikukuhkan oleh PBB yang mengatakan bahwa dari 10 kepala negara yang melakukan penyelewengan itu nomor satu adalah Soeharto," jelasnya

" Kemudian soal pelanggaran HAM, hingga sekarang juga masih ada 13 aktivis yang hilang, dan kemudian kasus trisakti dan kejahatan HAM yang terjadi di masa Orba," sambungnya

Sementara ditanya soal kesejahteraan yang diberikan Soeharto kepada rakyat Indonesia pada saat itu, Fajroel mengakui bahwa hal tersebut tak bisa dikesampingkan. Namun, dengan tegas Fajroel menilai kebaikan yang dilakukan Soeharto tersebut bukan menjadi tolak ukur Soeharto bisa dijadikan Pahlawan Nasional.

"Kami tidak menyangsikan ada beberapa yang mungkin dinilai baik, tapi ada dua hal tersebut yang memang harus diselesaikan. Jadi jangan sampai apa yang dikatakan baik, lalu kemudian menutupi apa yang menjadi kesalahan terutama dalam hal korupsi dan HAM, dan itu yang menjadi problem hingga saat ini," tegasnya. (MP)



Sumber:
http://www.prfmnews.com/?cmd=info&tmplt=2&vr=3422&pos=artikel&scat=4
Soeharto Bukan Pahlawan

Soeharto Bukan Pahlawan

June 18, 2014 Add Comment

Soeharto Bukan Pahlawan




" Mari-mari kita bersama kubur soehartoisme

Kiri kanan kulihat saja...awas soehartoisme......"


Purwokerto - Lantunan nada-nada yang bersemangat itu keluar dari lisan kader-kader HMI MPO Purwokerto yang memberi warna pada malam kota Purwokerto Selasa (5/2) kemarin. Walaupun sempat diguyur gerimis, namun kurang lebih sepuluh kader tetap berteriak lantang seolah ratusan pasukan pleton yang menembus dinginnya malam. 



Berangkat dari sekretariat cabang HMI MPO di bilangan Jalan Riyanto Sumampir-Purwokerto, para paserta aksi menyambut milad HMI ke-61 ini mengawali langkah pada pukul 19.00 menyusuri jalan-jalan di kota satria itu. Melintas hingga jalan Dr.Bunyamin, peserta aksi kemudian berhenti di depan gerbang Universitas Jendral Soedirman untuk menyuarakan aksinya. Di depan patung Soedirman, tiap kader kemudian bergantian untuk orasi. Tidak hanya orasi, namun pembacaan puisi serta adegan teaterikal juga turut digelar.



Isu yang diangkat pada milad kali ini adalah kuburkan Soehartoisme. Menurut pandangan kawan-kawan HMI MPO Purwokerto, momen meninggalnya Soeharto telah dengan cerdik dimanfaatkan oleh pengikut -pengikut Soeharto untuk membangkitkan Soehartoisme. Soehartoisme dipandang merupakan paham tata pemerintahan yang mengandalkan otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.



Kebijakan pemerintah SBY-JK yang memberikan penghormatan yang berlebih-lebihan terhadap Soeharto berupa hari berkabung nasional selama 7 hari membuktikan bahwa rezim SBY-JK sama sekali tidak mengindahkan spirit reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa dan darah mahasiswa. Sebaliknya, kebijakan ini justru membuktikan bahwa rezim SBY-JK adalah bagian yang melekat dengan spirit Orde Baru.


Kematian Soeharto tanpa putusan hukum yang tetap telah membuyarkan harapan tentang tegaknya kepastian hukum di negara ini. Dan oleh karena itu, menyangkut perdata Soeharto, HMI MPO meminta supaya seluruh kekayaan yayasan-yayasan yang dikelola oleh Soeharto dan kroninya segera diserahkan kepada negara.



Usulan Partai Golkar untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu hal yang absurd, tidak beralasan, lagi mengabaikan perasaan para korban kejahatan politik dan HAM yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Dalam konteks ini, kematian Soeharto dalam kondisi tengah diproses secara hukum atas kasus korupsi dana Yayasan Supersemar telah menggugurkan prasyarat untuk menjadi pahlawan. Amat mustahil seseorang dalam posisi demikian untuk disebut sebagai pahlawan bangsa. Belum lagi, mengingat sejumlah kasus kejahatan HAM, pemberangusan kebebasan (pers, berpendapat dan berorganisasi) dan perampasan hak-hak ekosob sebagian warga negara yang memang secara faktual terjadi di masa kepemimpinannya.


Kepada seluruh komponen bangsa, HMI MPO menyerukan bahwa membangkitkan Soehartoisme merupakan tindakan yang sesat dan berbahaya, sebaliknya kami serukan supaya mari menyongsong masa depan dengan mengubur Soehartoisme. Masa depan ada di tangan rakyat, bukan di tangan elit-elit pengikut Soeharto.



Dalam pernyataan sikap yang dibuat, HMI- MPO Cabang Purwokerto menyatakan bahwa :


  1. Mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh rezim Soeharto
  2. Mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus perdata Soeharto beserta kroninya.
  3. Mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus korupsi dana-dana yayasan yang dimiliki Soeharto beserta kroninya dan mengembalikannya kepada rakyat.
  4. Menolak pemberian gelar pahlawan bangsa kepada Soeharto.
  5. Menolak agenda-agenda kepentingan asing yang menyengsarakan rakyat seperti : Privatisasi Sumberdaya Alam, liberalisasi dan komersialisasi Pendidikan (BHP) dan pencabutan subsidi lainnya yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
  6. Mengajak kepada seluruh elemen untuk bersama-sama mengantisipasi menguatnya paham soehartoisme yang telah menjalankan tata pemerintahan seperti : otoritarianisme, militerisme, dan KKN yang telah terbukti membangkrutkan bangsa dan negara.


Aksi yang di sisi lain cukup disayangkan karena sedikitnya kuantitas kader dikarenakan masa liburan kuliah yang telah tiba ini, berakhir dengan pernyataan sikap dan menyenyikan lagu Bagimu Negeri.



Animo masyarakat yang menyaksikan aksi cukup tinggi. Beberapa kendaraan tampak melambatkan laju kendaraan untuk mengetahui aksi yang memang sangat bersemangat. Bahkan beberapa masyarakat tak ragu untuk mendekati kami serta meminta leaflet yang sudah disediakan.

Soeharto memang telah mati, namun bukan berarti kasus-kasusnya dikubur dan lantas Soeharto menjadi pahlawan yang harum namanya. Peradilan kubur memang lebih adil, kalau kita mau menghargai pak Harto, bantulah meringankan beliau di akhirat sana dengan memposisikan Pak Harto pada ruang yang tepat dan posisi hukum yang seharusnya dan bukan dengan membangkitkan Soehartoisme. (nta)


Sumber:

http://satriahmi.blogspot.com/2008/02/soeharto-bukan-pahlawan.html