Soeharto, Pahlawan atau Penghianat Bangsa ?
MARI menimbang soal ini dengan pikiran jernih. Ayo kita bebaskan diri dari rasa suka atau tidak suka. Kita lakukan ini sebagai bentuk tanggung jawab terhadap eksistensi kita sebagai manusia Indonesia. Sodorkanlah fakta-fakta dan jelaskan argumentasinya. Apakah Soeharto itu pahlawan atau penghianat bangsa ?Ini soal penting buat kita semua, Bangsa Indonesia. Kenapa ? Karena periode 32 tahun Soeharto berkuasa adalah kurun waktu yang sangat panjang, lebih dari satu generasi. Periode 32 tahun itu adalah bagian penting sejarah kita semua, baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, suku dan bangsa. Pendeknya, pengaruhnya sangat besar terhadap kehidupan kita hari ini dan esok, mungkin juga sampai 50 tahun yang akan datang.
Sampai 50 tahun yang akan datang? Ya, karena sejumlah kebijakan Soeharto, terutama kontrak-kontrak jangka panjang eksplorasi kekayaan alam kita, misalnya kontrak dengan Freeport di Papua, masih tetap berlaku. Disamping itu, tidak adanya kebebasan untuk berekspresi selama dia berkuasa sangat besar pengaruh negatifnya terhadap mutu pendidikan, kemampuan kita berkarya, berorganisasi, berkeluarga, bermasyarakat dan bergaul di dunia internasional.
Soeharto memang sudah beristirahat untuk selamanya, tapi dampak kekusaannya masih akan menyiksa kehidupan bangsa ini ke depan. Bahkan bukan hanya berupa dampak, tapi merupakan akibat langsung dari sejumlah kebijakannya di masa lalu, yang kini sudah menjadi beban persoalan dan tanggung jawab yang riil buat kita semua.
Mari kita lihat tiga fakta saja dari ratusan fakta yang ada. Setelah membaca tiga fakta ini silakan menyimpulkan sendiri apakah Soeharto seorang pahlawan atau penghianat bangsa. Kalau anda merasa tiga fakta ini kurang penting sebagai tolok ukur untuk menilai Soeharto, silakan kemukakan fakta yang lebih penting, yang secara riil berpengaruh langsung terhadap kehidupan rakyat Indonesia..
***
FAKTA pertama : krisis energi, yang sekarang sudah menjadi masalah yang gawat dan bisa melumpuhkan kehidupan di negara ini. Yang paling mencolok adalah harga minyak tanah yang terus naik dan sering hilang dari pasaran. Harga solar juga terus melonjak,sehingga hampir menyamai harga bensin, dan sering pula hilang dari pasaran.
Kalau anda tergolong masyarakat yang beruntung, dalam arti tetap makmur ketika sebagian besar warga bangsa ini makin miskin, mungkin anda sudah lama tidak membutuhkan minyak tanah. Anda terbiasa menggunakan gas dan listrik, jadi masa bodohlah dengan kesusahan orang-orang miskin itu. Siapa suruh tetap menggunakan minyak tanah buat masak?
Begitu pula untuk kendaraan, mungkin dari dulu anda memang tidak memakai solar, jadi masa bodohlah problem angkutan umum dan para nelayan yang tidak bisa melaut karena harga solar makin mencekik leher, dan solarnya langka pula.Tapi bisakah anda terus masa bodoh, ketika PLN terpaksa melakukan pemadaman bergilir, lantaran sebagian besar gardu penyalur listrik digerakkan mesin bertenaga solar ?Silakan terus bersikap masa bodoh, tapi ingat, sebentar lagi anda pun akan ikut menjadi korban. Gas dan bensin sebenarnya sudah dalam tahap kritis, namun pemerintah terus mensubsidi demi menjaga dukungan politik masyarakat kelas menengah– yang di negeri ini terlanjur menjadi kacung setia kelas yang berkuasa.
Apa hubungannya dengan Soeharto ? Krisis energi itu adalah tanggung jawab langsung diktator yang sudah berlalu ini. Soeharto-lah yang menguras kandungan minyak dari perut bumi Indonesia, melalui kebijakan yang sembrono dan bodoh. Soeharto-lah yang mengambil keputusan dan meneken kontrak karya dengan puluhan perusahaan asing, dengan durasi sampai 90 tahun, dengan pembagian hasil yang merugikan bangsa Indonesia dan tanpa visi ke depan mengenai kebutuhan bangsa ini terhadap BBM.
Sekarang Indonesia sudah berubah menjadi pengimpor BBM sepenuhnya (net imported), tapi masih saja tak punya malu, masih terus aktif di persatuan negara pengekspor minyak, OPEC. Sejatinya Indonesia memang masih produsen minyak, tapi sebagian besar hasilnya diekspor. Itu sesuai kesepakatan yang dulu diteken Soeharto dengan perusahaan-perusahaan asing itu. Dan tahukah anda, minyak yang diekspor itulah yang kemudian kita impor. How stupid! Dengan fakta ini, masihkah anda ngotot menyebut Soeharto pahlawan bangsa?
Para pendukung Soeharto mengatakan, diktator ini berjasa besar membuat rakyat Indonesia dapat makan nasi dan hidup layak. Tahukah anda bagaimana itu bisa terjadi ? Soeharto mengambil jalan pintas, yaitu menguras kekayaan alam dan berhutang ke luar negeri dalam jumlah yang sangat fantastik. Sekadar pembanding, hutang Indonesia ketika Soeharto berkuasa—dengan penduduk 110 juta waktu itu, sama besarnya dengan hutang luar negeri India dengan penduduk 900 juta. India memanfaatkan hutang luar negeri itu untuk modernisasi pertanian, dan sejak dekade 90-an negara itu mampu swasembada pangan. Bagaimana dengan Indonesia?
***
FAKTA kedua : BLBI alias perampokan ekonomi rakyat lewat kebijakan liberalisasi ekonomi dan sektor keuangan, yang pada dasarnya adalah menghianati bangsa dan negara. Kasus BLBI inilah yang menyebabkan perekonomian kita ambruk menjelang kejatuhan Soeharto, dimana hutang-hutang pihak swasta ke luar negeri, yang dijamini Soeharto, menyebabkan nilai mata uang kita jatuh dan sejumlah aset berharga di negeri ini menjadi sampah.
Terkait dengan kebijakan itu adalah masuknya Indonesia dalam sistem pasar bebas global, dengan foto terkenal saat Soeharto berdiri sejajar dengan Presiden AS Bill Clinton, pada saat APEC diadakan di Indonesia. Kesannya Indonesia sudah sejajar dengan negara-negara maju, tapi pada saat itulah dimulainya penderitaan puluhan juta petani di negeri ini. Sebab tak lama kemudian, hasil pertanian dari mancanegara membanjiri pasar domestik, dengan harga lebih murah dan mutu lebih baik; sehingga petani kita kalah bersaing. Masihkah anda menyebut Soeharto pahlawan bangsa ?
***
FAKTA ketiga : kebangkrutan intelektual, matinya semangat kompetisi dan kelumpuhan institusi-intitusi sosial. Tiga masalah ini aku gabungkan untuk ringkasnya saja, dan memang ketiganya terkait dengan watak dan perilaku kediktatoran Soeharto yang anti-demokrasi dan neo-feodal. Sebenarnya, masing-masing dari ketiga topik tersebut adalah masalah maha besar, yang akan menghabiskan puluhan tahun dan trilyunan lembar kertas untuk membahas dan menulisnya.
Kekuasaan Soeharto mirip dengan jaring laba-laba raksasa, yang menyusup dan mencengkram sampai ke unit terkecil kehidupan masyarakat Indonesia. Lewat jaring raksasa itu Soeharto dapat mengontrol secara efektif kehidupan setiap orang dan kelompok di masyarakat. Jaring laba-laba itu adalah mesin pengendali yang canggih, gabungan dari intelijen militer, intelijen kepolisian, organisasi para-militer, jaringan pengawas kepatuhan di tubuh birokrasi, perpanjangan tangan kekuasaan rezim sampai ke tingkat RT, dan pengendalian melalui organisasi profesi yang cakupannya sampai ke kelompok marginal seperti kaum waria.
Soeharto melengkapi jaringan kontrol dan intelijen raksasa itu dengan sistem nilai klasik : hukuman dan hadiah. Dan tidak tanggung-tanggung, dengan nyali besar dan rasa tega, Soeharto menjadikan tokoh-tokoh pahlawan yang dicintai dan dihormati masyarakat sebagai bukti kesungguhannya untuk menghukum orang-orang yang tidak patuh dan tunduk kepadanya.
Bung Karno,Bung Hatta, Hoegeng dan Ali Sadikin, misalnya, selain dihukum dengan cara diisolasi juga dirampas hak-hak politik dan hak sipilnya. Orang jadi takut sekadar bertemu atau bersalaman ketika jumpa di satu acara dengan tokoh-tokoh tersebut, karena pasti akan dilaporkan ke Soeharto dan hidupnya bakal sengsara. Sebaliknya, Soeharto mengkooptasi orang-orang yang semula kritis terhadapnya, sehingga berbalik menjadi pendukung setia, antara lain Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara.
Dengan kekuasaan yang begitu besar dan jaringan kontrol yang canggih, serta punishment and reward tadi; Soeharto dengan leluasa mematikan sikap kritis di lingkungan perguruan tinggi, media massa, kalangan seniman, di tubuh partai politik dan organisasi massa, bahkan sampai ke lembaga-lembaga keagaamaan dan adat. Semuanya harus menunjukkan dan membuktikan kepatuhan terhadapnya, jika tidak : matilah kau!
Dampaknya, sikap kritis yang paling wajar, yang merupakan bagian penting dari kehidupan akademis; menjadi terkikis dan mati. Banyak fakta-fakta hasil penelitian ilmiah, terutama di lingkungan ilmu-ilmu sosial, terpaksa diubah dan disesuaikan dengan kondisi yang dapat ditolerir oleh rezim Soeharto. Para ahli di perguruan tinggi jadi malas melakukan penelitian, akhirnya menempuh jalan pintas dengan cara mengutip pendapat para ahli barat yang tidak berlawanan dengan rezim Soeharto. Sikap kritis dibuang, lalu belajar jadi penjilat.
Hal yang sama terjadi di media massa dan dunia seni, termasuk di bidang penerbitan buku. Demikian pula di dalam kehidupan sosial, termasuk di lingkungan keagamaan, semuanya dipaksa menyesuaikan diri dengan standar-standar yang didiktekan rezim Soeharto. Di lingkungan birokrasi lebih parah lagi, semuanya menjadi robot tanpa nurani.
Pendek kata, sikap kritis kemudian dianggap sebagai sumber malapetaka, tindakan bodoh atau cari penyakit. Demi keamanan diri, orang terpaksa membeo meskipun berlawanan dengan hati nuraninya. Makanya yang berkembang di Indonesia adalah kepandaian menjilat dan sikap hipokrit di dalam semua aspek kehidupan.
Dalam situasi demikian, dimana kepatuhan dan kepandaian menjilat adalah segalanya, maka dengan sendirinya budaya kompetisi yang sehat pun ikut mati. Dan lembaga-lembaga sosial menjadi kehilangan jati diri serta kekhasannya, karena terpaksa atau sukarela menyesuaikan diri dengan keadaan.Ini salah satu sebab mengapa seni budaya suku-suku di Indonesia mandeg atau bahkan punah, karena kehilangan elan dan jati diri. Itu semua gara-gara Soeharto, sang diktator yang selalu tersenyum. Nah, apakah Soeharto seorang pahlawan atau penghianat bangsa ? (Robert Manurung)
Sumber:
http://ayomerdeka.wordpress.com/2008/02/08/soeharto-pahlawan-atau-penghianat-bangsa/