Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto

July 31, 2014
Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto
Senin, 31 Mei 2004 | 17:13 WIB
TEMPO Interaktif:

1 September 1998
Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.

6 September 1998
Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Saya tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.

9 September 1998
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstraketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.

11 September 1998
Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.

15 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.

21 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.

25 September 1998
Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.

29 September 1998
Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.

13 Oktober 1998
Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

22 Oktober 1998
Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.

28 Oktober 1998
Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto.

21 November 1998
Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi, usulan ini kandas.

22 November 1998
Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.

2 Desember 1998
Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.

5 Desember 1998
Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.

7 Desember 1998

Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan: Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.

9 Desember 1998
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.

9 Desember 1998
Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.

28 Desember 1998
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM).

30 Desember 1998
Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.

12 Januari 1999
Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.

4 Februari 1999
Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto, sebagai bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.

9 Februari 1999
Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.

9 Februari 1999
Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.

11 Maret 1999
Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.

13 Maret 1999
Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.

16 Maret 1999
Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).

26 Mei 1999
JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.

27 Mei 1999
Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .

28 Mei 1999
Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.

30 Mei 1999
Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.

11 Juni 1999
Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.

9 Juli 1999
Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis diperiksa Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.

19 Juli 1999
Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.

11 Oktober 1999
Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.

6 Desember 1999
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.

6 Desember 1999
Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.

29 Desember 1999
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3.

14 Februari 2000
Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak hadir dengan alasan sakit.

16 Februari 2000
Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.

31 Maret 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.

3 April 2000
Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.

13 April 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.

29 Mei 2000
Soeharto dikenakan tahanan rumah.

7 Juli 2000
Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.

14 Juli 2000
Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkas Tim Kejagung.

15 Juli 2000
Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.

3 Agustus 2000
Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.

8 Agustus 2000
Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.

22 Agustus 2000
Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.

23 Agustus 2000
PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.

31 Agustus 2000
Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.

14 September 2000
Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.

23 September 2000
Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.

28 September 2000
Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.

Pusat Data dan Analisa Tempo



Sumber:
http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/05/31/tml,20040531-01,id.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »