Kisah Soeharto amankan Ibnu Sutowo soal korupsi Pertamina
Reporter : Hery H Winarno | Kamis, 31 Oktober 2013 05:35
Di eranya, Ibnu Sutowo yang menjabat Dirut Pertamina seperti orang kebal hukum. Meski diberitakan habis-habis, Ibnu yang dikenal irit bicara ini tidak pernah diperiksa atas sederet kasus korupsi bahkan hingga menyeret kebangkrutan Pertamina.
"Tidak ada yang penegak hukum yang saat itu memeriksa atau memanggil dia atas berita korupsi yang kami beritakan. Tidak ada, dia seperti kebal hukum," ujar mantan Redaktur Pelaksana Harian Indonesia Raya, Atmakusumah saat berbincang di redaksi merdeka.com, Tebet Barat IV nomor 3, Jakarta Selatan, Selasa (29/10).
Bukan tanpa alasan penegak hukum di era itu mandul, Harian Indonesia Raya pada 30 Januari 1970 memberitakan bahwa simpanan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 milyar. Namun bukan karena hanya uang yang melimpah Ibnu Sutowo kebal hukum.
"Saat itu dia memang dekat dengan Soeharto . Bahkan saya kira dia (Ibnu Sutowo) dan Soeharto saling pegang kartu truf," terang Atma yang fasih bercerita meski telah berusia 75 tahun itu.
Mochtar Lubis sendiri dalam buku, Mochtar Lubis bicara lurus: Menjawab pertanyaan wartawan pernah menyebut bahwa Jaksa Agung Saat itu juga tak berkutik kepada Ibnu Sutowo. Dalam buku tersebut, Mochtar menyebut Jaksa Agung saat itu Ali Said tidak berbuat apa-apa soal dugaan korupsi yang dilakukan Ibnu Sutowo.
"Waktu kami ramai-ramai membongkar, pemerintah diam saja. Padahal waktu itu kami sudah serahkan (kepada pemerintah) lembaran-lembaran bukti tertulis mengenai kasus korupsi Pertamina. Kami kirim ke Jaksa Agung, kami kirim ke panitia tujuh yang dipimpin oleh Almarhum Wilopo," ujar Mochtar Lubis dalam buku tersebut.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Atma. Menurutnya di tahun 70 an, Soeharto bukan hanya pemegang kekuasaan eksekutif saja, tetapi semua pilar demokrasi dikangkanginya.
"Saat itu Soeharto adalah pemimpin eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi siapapun yang dilindunginya pasti selamat, dalam hal ini Ibnu Sutowo salah satunya," imbuhnya.
Baca juga: Ibnu Sutowo, tentara kaya raya irit bicara Ibnu Sutowo obral murah stok minyak Indonesia, siapa untung? Ibnu Sutowo hamburkan uang untuk pesta pora di Eropa Jaksa Agung tak bernyali usut raksasa Pertamina dan Ibnu Sutowo Ibnu Sutowo, sang jenderal inti pemegang kartu truf Soeharto
[did]
Ibnu Sutowo, tentara kaya raya irit bicara
Reporter : Didi Syafirdi | Kamis, 31 Oktober 2013 06:35
Permainan kotor pensiunan jenderal bintang TNI AD itu pun terendus. Lewat setumpuk dokumen yang dimiliki, Harian Indonesia Raya mewartakan berita penyelewengan di Pertamina secara konsisten selama empat tahun. Rupanya ini cukup membuat Ibnu gerah.
Atmakusumah kini sudah berusia 75 tahun. Kala pada awal tahun 1970-an, dia menjabat sebagai Redaktur Pelaksana di koran tersebut. Menurutnya, Ibnu tak pernah bersedia diwawancara wartawan Indonesia Raya.
"Saat konferensi pers pun Ibnu tidak banyak bicara. Ibnu justru terkesan hati-hati," ujar Atmakusumah kepada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10) malam.
Pada 30 Januari 1970, Indonesia Raya memberitakan simpanan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 miliar (kurs rupiah saat itu Rp 400/dolar), jumlah yang sangat fantastis. Harian yang akhirnya dibredel itu juga melaporkan kerugian negara akibat kerjasama Ibnu Sutowo dengan pihak Jepang mencapai USD 1.554.590,28.
Meski begitu, menurut Atmakusumah, kehidupan Ibnu dan keluarganya jauh dari hura-hura. Bahkan, Ibnu yang sangat dekat dengan keluarga Cendana tidak pernah tampil menunjukkan gelimangan hartanya di Tanah Air.
"Gaya hidupnya tidak mencolok. Bahkan tidak kelihatan seperti koruptor sekarang," kata Atmakusumah.
Setelah lengser Ibnu tak pernah terjerat hukum. Ali Said, Jaksa Agung kala itu menolak mentah-mentah dokumen penyimpangan di Pertamina yang ditawarkan oleh Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis. Sampai akhir hayat Ibnu pun tetap bisa hidup tenang.
"Dia tidak memiliki banyak musuh, karena dia (Ibnu) orangnya royal," tutur Atmakusumah yang menduga antara Ibnu dan Soeharto sama-sama memiliki kartu truf.
Begitu kuatnya Ibnu, Atmakusumah melihat karena Ibnu memiliki jaringan kuat di angkatan darat. Adalah Kepala Staf Angkatan Darat AH Nasution yang memberi perintah Ibnu Sutowo mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara (PT Permina).
Baru pada tahun 1968, perusahaan ini bergabung dengan perusahaan minyak milik negara lain hingga menjadi PT Pertamina. Ibnu menyeret Pertamina menuju bisnis lain di luar bidang minyak. Mulai dari hotel, restoran, asuransi, biro perjalanan. Ternyata hasilnya anjlok.
"Ibnu Sutomo merupakan orang yang dipilih oleh Jenderal Nasution," tandasnya.
Ibnu Sutowo obral murah stok minyak Indonesia, siapa untung?
Reporter : Ramadhian Fadillah | Kamis, 31 Oktober 2013 05:04
Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis menulis tajuk berjudul 'Beberapa Pertanyaan tentang Soal Penjualan Minyak?' tanggal 7 Desember 1973. Sebelumnya dia berkali-kali menulis soal minyak Indonesia yang dijual 6 USD per barel, sementara negara Arab mencapai 9 USD per barel.
Selisih 3 USD per barel itu sangat mengerikan. Indonesia menjual 1,4 juta barel minyak mentah per hari. Maka tinggal dikalikan, 3 USD dikali 1,4 juta barel, berarti Indonesia rugi USD 42 juta per hari. Kalikan setahun, maka Indonesia rugi 1.533 juta USD. Jumlah yang luar biasa.
Pertamina menjual minyak Indonesia ke Jepang pada Far Eastern Oil Company, sebuah perusahaan campuran Indonesia dan Jepang. Tidak diketahui, berapa perusahaan itu menjual pada para pembeli di Jepang sesungguhnya.
"Siapa kiranya yang mendapat untung raksasa dari penjualan semacam ini?" kritik Mochtar Lubis.
Penjualan minyak Pertamina dilakukan serba tertutup. Laporan keuangan mereka juga tak bisa dilihat umum. Pertamina ibarat negara dalam negara.
"Apakah disengaja menahan harga penjualan minyak Indonesia pada enam dolar satu barel untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan pembeli minyak di luar itu menumpuk keuntungan yang luar biasa," tanya Mochtar.
Tak jelas juga laporan hasil penjualan minyak Pertamina. Yang jelas Pertamina malah menunggak pajak. Sementara itu dia memberikan sumbangan ke universitas, memberi hadiah klien dengan barang mewah hingga menyumbang TVRI. Tak jelas kenapa uang Pertamina tak masuk sebagai pendapatan negara?
Petinggi Pertamina, Ibnu Sutowo dan kroninya pun hidup mewah. Ini makin menimbulkan kecurigaan. Tapi tak ada yang berani mengusut Ibnu Sutowo.
29 Desember 1973, Mochtar Lubis menulis tajuk yang lebih keras. 'Indonesia, Tuan atau Budak dari Sumber Alamnya?' Dia kembali mengkritik kebijakan Pertamina yang mengobral minyak mentah milik rakyat yang bermutu tinggi. Ditutupnya tajuk itu dengan sindiran untuk Menteri Pertambangan M Sadli dan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo.
"Seandainya Sadli dan Ibnu Sutowo tidak punya kemauan untuk melaksanakan pengelolaan minyak kita dalam keadaan dunia yang sudah berubah, tidakkah sudah waktunya untuk mencari orang lain yang sanggup, cekatan, dan lebih mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara?"
Mochtar tak pernah berhenti mengkritik Pertamina, hingga di saat terakhir koran itu dibredel Januari 1974.
Apa yang ditulis Mochtar jadi kenyataan. Salah urus Pertamina menyebabkan perusahaan raksasa itu nyaris bangkrut. Tahun 1975, utang Pertamina mencapai 10,5 miliar USD. Ibnu Sutowo pun dipecat Soeharto.
Satu sisi kelam sejarah yang bukan tak mungkin terulang kembali.
[ian]
Ibnu Sutowo hamburkan uang untuk pesta pora di Eropa
Reporter : Ramadhian Fadillah | Kamis, 31 Oktober 2013 04:06
Merdeka.com - Tahun 1970an para petinggi Pertamina diduga menggunakan hasil penjualan minyak untuk berfoya-foya. Saat itu keuangan Pertamina tak bisa diakses oleh siapa pun. Di bawah kepemimpinan Direktur Utama Letjen Ibnu Sutowo, Pertamina bertindak sesuka hatinya.
Harian Indonesia Raya keras mengkritik tindakan Ibnu Sutowo yang menghambur-hamburkan uang negara. Ibnu Sutowo menggelar Hari Ulang Tahun Pertamina di Jenewa, Swiss. Memang sudah jadi tradisi Pertamina selalu menggelar ulang tahun di luar negeri.
Indonesia Raya mengutip salah satu anggota DPR Rachmad Muljomiseno juga mempertanyakan kebiasaan boros itu. Mereka kebanjiran telepon ke redaksi yang mendukung tulisan tersebut.
Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis melanjutkan polemik ini dengan sebuah Tajuk berjudul 'Kebiasaan Pertamina yang Aneh', tanggal 8 Oktober 1973. Dia mengkritik habis-habisan pesta pora di Eropa ini.
"Kalau kita hendak mengobral makanan, minuman dan yang lain-lain yang enak, mengapa harus bikin senang dan enak orang asing, bukan orang Indonesia sendiri? Mengapa Pertamina sekali setahun tidak mengundang kaum miskin dan gelandangan dan memberi mereka makanan dan pengalaman hidup yang enak biarpun hanya untuk beberapa jam?" tulis Mochtar.
"Tetapi Harian ini tidak setuju sama sekali jika perusahaan-perusahaan negara mengadakan ulang tahun tiap tahun karena ini memboroskan uang rakyat dan uang negara. Mengapa jadi latah kepingin seperti anak kecil yang mau merayakan ulang tahun setiap tahun?"
Menteri Pertambangan saat itu, Mohammad Sadli membela Pertamina. Dia mengatakan HUT Pertamina di Jenewa adalah untuk promosi perkembangan ekonomi di Indonesia, antara lain promosi batik.
Mochtar membalas keterangan M Sadli dengan tajuk 'Perkuat Pengelolaan Minyak Indonesia' tanggal 29 Oktober 1973. Dia menilai pusat perekonomian dan bank Swiss ada di Zurich, bukan Jenewa. Sehingga alasan itu tidak tepat. Mochtar juga mengkritik kebiasaan foya-foya yang lain.
"Uang penjualan minyak jangan dihambur-hamburkan untuk membeli tanah dan rumah, membikin gedung, mencarter kapal dan sebagainya. Istri-istri orang dalam Pertamina membikin perusahaan yang menampung pesanan-pesanan Pertamina (dari suami mereka kah?) dengan harga yang digemukkan," kritik wartawan idealis itu.
Pesta mewah Ibnu Sutowo bukan cuma di-HUT Pertamina. Saat menikahkan anaknya, dia juga menggelar pesta yang paling mewah saat itu. Humas Pertamina mengaku dana nikahan didapat dari sumbangan keluarga dan kolega Ibnu Sutowo. Lagi-lagi Mochtar Lubis tak percaya.
"Apa benar keluarga Ibnu Sutowo begitu kaya? Siapa yang kaya raya? Pamannya? Tantenya? Dari mana mereka jadi kaya? Dan teman-temannya? Siapa itu teman-teman Ibnu Sutowo yang begitu kaya raya?" kritik Mochtar.
Kritik Mochtar tak ditanggapi Pertamina maupun penegak hukum. Tahun 1975, Pertamina terlilit utang hingga USD 10,5 miliar. Perekonomian negara pun goyang akibat krisis Pertamina. Presiden Soeharto turun tangan dan memecat Ibnu Sutowo.
Seandainya saat itu penegak hukum mendengarkan Mochtar Lubis.
Harian Indonesia Raya keras mengkritik tindakan Ibnu Sutowo yang menghambur-hamburkan uang negara. Ibnu Sutowo menggelar Hari Ulang Tahun Pertamina di Jenewa, Swiss. Memang sudah jadi tradisi Pertamina selalu menggelar ulang tahun di luar negeri.
Indonesia Raya mengutip salah satu anggota DPR Rachmad Muljomiseno juga mempertanyakan kebiasaan boros itu. Mereka kebanjiran telepon ke redaksi yang mendukung tulisan tersebut.
Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis melanjutkan polemik ini dengan sebuah Tajuk berjudul 'Kebiasaan Pertamina yang Aneh', tanggal 8 Oktober 1973. Dia mengkritik habis-habisan pesta pora di Eropa ini.
"Kalau kita hendak mengobral makanan, minuman dan yang lain-lain yang enak, mengapa harus bikin senang dan enak orang asing, bukan orang Indonesia sendiri? Mengapa Pertamina sekali setahun tidak mengundang kaum miskin dan gelandangan dan memberi mereka makanan dan pengalaman hidup yang enak biarpun hanya untuk beberapa jam?" tulis Mochtar.
"Tetapi Harian ini tidak setuju sama sekali jika perusahaan-perusahaan negara mengadakan ulang tahun tiap tahun karena ini memboroskan uang rakyat dan uang negara. Mengapa jadi latah kepingin seperti anak kecil yang mau merayakan ulang tahun setiap tahun?"
Menteri Pertambangan saat itu, Mohammad Sadli membela Pertamina. Dia mengatakan HUT Pertamina di Jenewa adalah untuk promosi perkembangan ekonomi di Indonesia, antara lain promosi batik.
Mochtar membalas keterangan M Sadli dengan tajuk 'Perkuat Pengelolaan Minyak Indonesia' tanggal 29 Oktober 1973. Dia menilai pusat perekonomian dan bank Swiss ada di Zurich, bukan Jenewa. Sehingga alasan itu tidak tepat. Mochtar juga mengkritik kebiasaan foya-foya yang lain.
"Uang penjualan minyak jangan dihambur-hamburkan untuk membeli tanah dan rumah, membikin gedung, mencarter kapal dan sebagainya. Istri-istri orang dalam Pertamina membikin perusahaan yang menampung pesanan-pesanan Pertamina (dari suami mereka kah?) dengan harga yang digemukkan," kritik wartawan idealis itu.
Pesta mewah Ibnu Sutowo bukan cuma di-HUT Pertamina. Saat menikahkan anaknya, dia juga menggelar pesta yang paling mewah saat itu. Humas Pertamina mengaku dana nikahan didapat dari sumbangan keluarga dan kolega Ibnu Sutowo. Lagi-lagi Mochtar Lubis tak percaya.
"Apa benar keluarga Ibnu Sutowo begitu kaya? Siapa yang kaya raya? Pamannya? Tantenya? Dari mana mereka jadi kaya? Dan teman-temannya? Siapa itu teman-teman Ibnu Sutowo yang begitu kaya raya?" kritik Mochtar.
Kritik Mochtar tak ditanggapi Pertamina maupun penegak hukum. Tahun 1975, Pertamina terlilit utang hingga USD 10,5 miliar. Perekonomian negara pun goyang akibat krisis Pertamina. Presiden Soeharto turun tangan dan memecat Ibnu Sutowo.
Seandainya saat itu penegak hukum mendengarkan Mochtar Lubis.
Jaksa Agung tak bernyali usut raksasa Pertamina dan Ibnu Sutowo
Reporter : Ramadhian Fadillah | Kamis, 31 Oktober 2013 03:01
Merdeka.com - Letnan Jenderal Ibnu Sutowo dan Pertamina tak tersentuh hukum di awal Orde Baru. Tak ada penegak hukum yang berani mengusut sengkarut di Pertamina. Sementara itu sejumlah petingginya diduga menyelewengkan keuntungan penjualan minyak. Pertamina ibarat negara di dalam negara. Tak ada yang bisa mengakses data-data keuangan perusahaan milik negara tersebut.
Dalam karikatur, Indonesia Raya menggambarkan Pertamina sebagai sosok raksasa jahat yang berukuran sangat besar. DPR, Tim Pemberantas Korupsi, Komisi IV dan Kejaksaan Agung lari menyelamatkan diri saat hendak diinjak raksasa tersebut.
Harian Indonesia Raya keras menulis tentang dugaan korupsi yang dilakukan Direktur Utama Ibnu Sutowo. Bahkan koran yang dipimpin Mochtar Lubis itu malah berharap dituntut Ibnu Sutowo ke pengadilan. Dengan begitu Indonesia Raya bisa membeberkan bukti-bukti yang mereka punya. Mochtar Lubis menulis tajuk di Indonesia Raya tanggal 29 Januari 1970 berjudul 'Mari ke Pengadilan'.
"Kami amat senang jika Ibnu Sutowo menempuh jalan ini. Kami bersedia menjadi orang pertama yang diperiksa oleh panitia peneliti DPR ataupun pemerintah mengenai persoalan penyelewengan " tantang Mochtar.
"Kami pun paling senang untuk diperiksa oleh pengadilan, agar kami dapat menyampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti penyelewengan-penyelewengan di Pertamina dan supaya Ibnu Sutowo cs dapat dimintai keterangannya di bawah sumpah."
"Jika Kejaksaan Agung tidak juga mau atau tidak dapat bergerak, jika DPRGR tetap impoten, dan jika pemerintah sendiri ogah-ogahan terus untuk membersihkan Pertamina, maka jalan lewat pengadilan baik kiranya ditempuh. Kami telah bersedia dan telah siap!" kata Mochtar tegas.
Tantangan terbuka wartawan idealis itu tak pernah dipenuhi Ibnu Sutowo.
"Mochtar Lubis juga pernah menemui Jaksa Agung Ali Said. Dia membawa data-data korupsi Pertamina dua kopor penuh. Tapi tidak pernah ditindaklanjuti," kata Redaktur Pelaksana Harian Indonesia Raya, Atmakusumah, pada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10).
Ibnu Sutowo terus menyeret Pertamina pada sejumlah kegiatan bisnis di luar minyak. Tapi gagal. Pertamina malah terlilit utang hingga USD 10,5 miliar pada tahun 1975. Jumlah itu sangat luar biasa untuk negara berkembang seperti Indonesia. Perekonomian goyang akibat ulah Ibnu Sutowo dan kroninya.
Presiden Soeharto turun tangan dan akhirnya memecat Ibnu Sutowo. Tapi Soeharto tak pernah menyeret Ibnu Sutowo ke pengadilan hingga akhir hayatnya.
"Jika Jaksa Agung dulu mengusut laporan kami dan Mochtar Lubis, mungkin Pertamina dan negara tak perlu mengalami kerugian sebesar itu," sesal Atmakusumah.
Sayang, sungguh sayang, tak ada penegak hukum bernyali.
Merdeka.com - Letnan Jenderal Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina tahun 1968-1975, dikenal sebagai The Untouchables. Sosok yang tak pernah tersentuh hukum walau sudah menenggelamkan Pertamina dalam hutang USD 10,5 juta.
David Jenkins, penulis buku Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1965-1973, menyebut Ibnu Sutowo sebagai salah satu jenderal kelompok inti Soeharto . Mereka punya hubungan dekat dan menempati posisi kunci di bidang hankam atau perekonomian.
"Soeharto punya ketergantungan sangat besar dalam hal keuangan di luar anggaran pada Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo," kata Jenkins.
Tahun 1975, kondisi keuangan Pertamina bagai dihajar topan. Perusahaan raksasa ini nyaris roboh setelah investasi di berbagai bidang tak berjalan lancar. Para petingginya diduga melakukan korupsi besar-besaran.
Soeharto membeberkan Pertamina pasti bangkrut kalau pemerintah tak segera melakukan tindakan. Dia melakukan penertiban ke internal Pertamina. Soeharto memerintahkan Pertamina menjual sebagian aset yang berlebihan. Ibnu Sutowo pun dipecat sebagai Dirut Pertamina. Dosa Sutowo di mata Soeharto sudah tak termaafkan.
"Saya tetapkan mengangkat kembali hampir semua anggota direksi yang lama untuk menjamin kelangsungan dan kelancaran tugas perusahaan, sementara Ibnu Sutowo diganti Piet Harjono sebagai dirutnya," kata Soeharto .
Soeharto pun menegaskan kasus Ibnu Sutowo dan kerugian Pertamina adalah sebuah pengalaman pahit. Jangan sampai terulang kembali. Soeharto menerapkan sejumlah langkah untuk memperbaiki Pertamina. Di antaranya membentuk Komisi Empat yang beranggotakan Wilopo, Anwar Tjokroaminoto, IJ Kasimo, dan Herman Johannes .
Namun rekomendasi Komisi Empat rupanya tak serius ditanggapi Soeharto . Tak ada upaya hukum untuk menyeret Ibnu Sutowo ke pengadilan.
"Ibnu Sutowo tak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana. Kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) 'salah manajemen' atau salah urus," kata IJ Kasimo, salah satu anggota Komisi Empat.
Harian Indonesia Raya merupakan surat kabar yang paling keras menyoroti kebijakan-kebijakan Ibnu Sutowo yang menyeleweng. Redaktur Pelaksana koran itu, Atmakusumah, mengaku tak ada penegak hukum yang berani memperkarakan Ibnu Sutowo. Senada dengan Jenkins, Atma juga menilai Soeharto membutuhkan uang di luar APNB untuk membiayai pemerintahannya.
"Diduga aliran uang itu juga mengalir ke penegak hukum sehingga mereka tidak bisa apa-apa," kata Atmakusumah menceritakan kasus itu pada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10).
Atma juga menduga Soeharto tak bisa apa-apa karena Ibnu Sutowo juga memegang sejumlah kunci pelanggaran Soeharto . Posisi mereka bedua saling mengunci.
"Mereka sama-sama pegang kartu truf masing-masing," beber Atmakusumah.
Dari Pertamina, hanya H Thahir yang kemudian disorot dalam kasus korupsi. Ini pun terungkap saat putranya berebut warisan dengan sang istri muda. Kasus pelik ini baru terselesaikan setelah 15 tahun.
Tapi Ibnu Sutowo tak pernah tersentuh hukum.
Sumber:
www.merdeka.com
Dalam karikatur, Indonesia Raya menggambarkan Pertamina sebagai sosok raksasa jahat yang berukuran sangat besar. DPR, Tim Pemberantas Korupsi, Komisi IV dan Kejaksaan Agung lari menyelamatkan diri saat hendak diinjak raksasa tersebut.
Harian Indonesia Raya keras menulis tentang dugaan korupsi yang dilakukan Direktur Utama Ibnu Sutowo. Bahkan koran yang dipimpin Mochtar Lubis itu malah berharap dituntut Ibnu Sutowo ke pengadilan. Dengan begitu Indonesia Raya bisa membeberkan bukti-bukti yang mereka punya. Mochtar Lubis menulis tajuk di Indonesia Raya tanggal 29 Januari 1970 berjudul 'Mari ke Pengadilan'.
"Kami amat senang jika Ibnu Sutowo menempuh jalan ini. Kami bersedia menjadi orang pertama yang diperiksa oleh panitia peneliti DPR ataupun pemerintah mengenai persoalan penyelewengan " tantang Mochtar.
"Kami pun paling senang untuk diperiksa oleh pengadilan, agar kami dapat menyampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti penyelewengan-penyelewengan di Pertamina dan supaya Ibnu Sutowo cs dapat dimintai keterangannya di bawah sumpah."
"Jika Kejaksaan Agung tidak juga mau atau tidak dapat bergerak, jika DPRGR tetap impoten, dan jika pemerintah sendiri ogah-ogahan terus untuk membersihkan Pertamina, maka jalan lewat pengadilan baik kiranya ditempuh. Kami telah bersedia dan telah siap!" kata Mochtar tegas.
Tantangan terbuka wartawan idealis itu tak pernah dipenuhi Ibnu Sutowo.
"Mochtar Lubis juga pernah menemui Jaksa Agung Ali Said. Dia membawa data-data korupsi Pertamina dua kopor penuh. Tapi tidak pernah ditindaklanjuti," kata Redaktur Pelaksana Harian Indonesia Raya, Atmakusumah, pada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10).
Ibnu Sutowo terus menyeret Pertamina pada sejumlah kegiatan bisnis di luar minyak. Tapi gagal. Pertamina malah terlilit utang hingga USD 10,5 miliar pada tahun 1975. Jumlah itu sangat luar biasa untuk negara berkembang seperti Indonesia. Perekonomian goyang akibat ulah Ibnu Sutowo dan kroninya.
Presiden Soeharto turun tangan dan akhirnya memecat Ibnu Sutowo. Tapi Soeharto tak pernah menyeret Ibnu Sutowo ke pengadilan hingga akhir hayatnya.
"Jika Jaksa Agung dulu mengusut laporan kami dan Mochtar Lubis, mungkin Pertamina dan negara tak perlu mengalami kerugian sebesar itu," sesal Atmakusumah.
Sayang, sungguh sayang, tak ada penegak hukum bernyali.
Ibnu Sutowo, sang jenderal inti pemegang kartu truf Soeharto
Reporter : Ramadhian Fadillah | Kamis, 31 Oktober 2013 02:01
David Jenkins, penulis buku Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1965-1973, menyebut Ibnu Sutowo sebagai salah satu jenderal kelompok inti Soeharto . Mereka punya hubungan dekat dan menempati posisi kunci di bidang hankam atau perekonomian.
"Soeharto punya ketergantungan sangat besar dalam hal keuangan di luar anggaran pada Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo," kata Jenkins.
Tahun 1975, kondisi keuangan Pertamina bagai dihajar topan. Perusahaan raksasa ini nyaris roboh setelah investasi di berbagai bidang tak berjalan lancar. Para petingginya diduga melakukan korupsi besar-besaran.
Soeharto membeberkan Pertamina pasti bangkrut kalau pemerintah tak segera melakukan tindakan. Dia melakukan penertiban ke internal Pertamina. Soeharto memerintahkan Pertamina menjual sebagian aset yang berlebihan. Ibnu Sutowo pun dipecat sebagai Dirut Pertamina. Dosa Sutowo di mata Soeharto sudah tak termaafkan.
"Saya tetapkan mengangkat kembali hampir semua anggota direksi yang lama untuk menjamin kelangsungan dan kelancaran tugas perusahaan, sementara Ibnu Sutowo diganti Piet Harjono sebagai dirutnya," kata Soeharto .
Soeharto pun menegaskan kasus Ibnu Sutowo dan kerugian Pertamina adalah sebuah pengalaman pahit. Jangan sampai terulang kembali. Soeharto menerapkan sejumlah langkah untuk memperbaiki Pertamina. Di antaranya membentuk Komisi Empat yang beranggotakan Wilopo, Anwar Tjokroaminoto, IJ Kasimo, dan Herman Johannes .
Namun rekomendasi Komisi Empat rupanya tak serius ditanggapi Soeharto . Tak ada upaya hukum untuk menyeret Ibnu Sutowo ke pengadilan.
"Ibnu Sutowo tak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana. Kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) 'salah manajemen' atau salah urus," kata IJ Kasimo, salah satu anggota Komisi Empat.
Harian Indonesia Raya merupakan surat kabar yang paling keras menyoroti kebijakan-kebijakan Ibnu Sutowo yang menyeleweng. Redaktur Pelaksana koran itu, Atmakusumah, mengaku tak ada penegak hukum yang berani memperkarakan Ibnu Sutowo. Senada dengan Jenkins, Atma juga menilai Soeharto membutuhkan uang di luar APNB untuk membiayai pemerintahannya.
"Diduga aliran uang itu juga mengalir ke penegak hukum sehingga mereka tidak bisa apa-apa," kata Atmakusumah menceritakan kasus itu pada awak redaksi merdeka.com, Selasa (30/10).
Atma juga menduga Soeharto tak bisa apa-apa karena Ibnu Sutowo juga memegang sejumlah kunci pelanggaran Soeharto . Posisi mereka bedua saling mengunci.
"Mereka sama-sama pegang kartu truf masing-masing," beber Atmakusumah.
Dari Pertamina, hanya H Thahir yang kemudian disorot dalam kasus korupsi. Ini pun terungkap saat putranya berebut warisan dengan sang istri muda. Kasus pelik ini baru terselesaikan setelah 15 tahun.
Tapi Ibnu Sutowo tak pernah tersentuh hukum.
Sumber:
www.merdeka.com
EmoticonEmoticon